Sabtu, 15 Juni 2013

TAUHID Dulu atau KHILAFAH? Kritik Terhadap Metode Dakwah Hizbut Tahrir

Tauhid atau khilafah?

Khilafah adalah cita-cita yang didambakan oleh seluruh kaum muslimin, lebih-lebih bagi mereka yang menjadi aktivis dakwah. Khilafah merupakan hadiah yang Allah persembahkan bagi umat ini setelah mereka berusaha untuk meniti kebenaran. Karenanya, kami ingatkan tulisan ini hanyalah sekelumit usaha untuk mewujudkan cita-cita munculnya khilafah.Tulisan ini bukanlah upaya untuk memecah belah persatuan kaum muslimin. Tulisan ini hanyalah sebatas nasehat antar sesama muslim yang mencita-citakan kesatuan dan persatuan kaum muslimin di atas kebenaran.
Kelompok yang Pertama Kali Menjadikan Khilafah Sebagai Prinsip Dakwah
Syaikh DR. Shalih bin Sa’ad As Suhaimi pernah ditanya tentang prinsip dakwah imamah (khilafah) dalam kesempatan dauroh bulan Juli 2008 di Mojokerto. Beliau menjawab:
“Imamah atau khilafah, yang pertama kali menjadikannya sebagai prinsip adalah kelompok Syi’ah dan Mu’tazilah. Imamah memang diharapkan. Setiap muslim berkeinginan agar kaum muslimin berada di bawah satu bendera dan satu khalifah. Namun keadaan ini (kaum muslimin di atas satu khilafah) sedah berakhir sejak masa Khulafa’ur rasyidun atau sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah….” (dikutip dari Majalah Adz Dzakhiirah edisi 42 tahun 1429 H).
Orang-orang syi’ah menjadikan Imamah (kekhalifahan) sebagai salah satu rukun iman mereka. Berikut adalah kutipan perkataan tokoh-tokoh syi’ah:
Muhammad Ridlo al Mudhofar Ar Rofidhi mengatakan: “Kami berkeyakinan bahwasanya imamah adalah salah satu asas agama. Keimanan tidak sempurna kecuali dengan memiliki keyakinan tersebut…” (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah)
Ibnul Muthohir al Hully dalam muqodimah kitabnya yang berjudul Minhajul Karomahmengatakan: “Amma ba’du, ini adalah risalah dan makalah yang mulia, yang berisi tentang pembahasan paling penting dalam masalah agama dan permasalahan paling utama bagi kaum muslimin; yaitu masalah imamah, dengan imamah bisa didapatkan derajat kemuliaan. Imamah adalah salah satu rukun iman. (Minhajul Karomah 1/20, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Rabi’ dalam Manhajul Anbiya fi Da’wah).
Bahkan sebagian mereka beranggapan lebih jauh dari pada perkataan tokoh sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa imamah lebih penting dari pada masalah Nubuwah (kenabian). Salah satu tokoh dan ulama mereka di zaman ini, Hadi At Thohroni mengatakan: “Imamah itu lebih mulia dibandingkan nubuwah. Karena imamah adalah tingkatan ketiga yang dengannya Allah memuliakan Ibrohim setelah (seblumnya) mengalami derajat Nubuwah dan Al Khullah. (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah).
Yang dimaksud Nubuwah adalah diangkatnya seseorang menjadi nabi. Sedangkan yang dimaksud Imamah adalah diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin. Dan yang dimaksud Al Khullah adalah diangkatnya seseorang menjadi kekasih terdekatnya Allah. Maksud perkataan Hadi At Thohroni adalah derajat diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin itu lebih mulia dari pada status diangkatnya seseorang menjadi nabi. Karena menjadi imam itu tingkatannya paling tinggi, yang di bawahnya ada tingkatan al khullah dan di bawahnya lagi baru tingkatan kenabian.
Hal yang senada juga pernah disampaikan oleh Abul A’la Al Maududi salah satu tokoh pergerakan di timur tengah. Beliau mengatakan: “Hakekat tujuan beragama adalah menegakkan aturan imamah yang baik dan lurus.” (Al Ushul Al Akhlaqiyah).
Alasan Mereka yang Gemar Meneriakkan Tegaknya Khilafah
Berikut kami sisipkan kutipan pendapat dan alasan mereka untuk menegakkan khilafah. Diambil dari salah satu makalah yang diterbitkan di situs mereka.
“Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.” (lih. Apa itu Khilafah?)
“Penderitaan dan kesengsaraan dunia yang dihasilkan dari negara-negara kapitalis, khususnya AS, tidak akan lenyap kecuali dengan tegaknya negara Khilafah yang akan menerapkan ideology yang haq, yaitu Islam yang agung yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.105)
“kita telah mengetahui bahwa umat Islam akan segera kembali menjadi negara adidaya, yaitu dalam Khilafah Rasyidah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.122)
“Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.135)
“Maka itu, keburukan yang telah mencengkeram dunia selama berabad-abad itu haruslah dibatasi. Harus pula diwujudkan sebuah negara yang mampu membatasi keburukan itu, yaitu negara Khilafah Islamiyah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.222)
Jika boleh disimpulkan, maka bisa ditarik satu benang merah bahwa tujuan utama kelompok ini dalam mendakwahkan tegaknya khilafah adalah menyelesaikan masalah umat. Karena bagi mereka, hanya dengan khilafah semata semua permasalahan umat ini bisa selesai. Setelah kaum muslimin berhasil mendirikan khilafah barulah mereka secara bersama-sama berdakwah menegakkan keadilan dan memerangi kedzaliman di muka bumi ini. Dakwah mengajak orang untuk mentauhidkan Allah baru diutamakan setelah tegaknya khilafah.
Tidak ada satupun orang yang menganggap jelek tujuan ini. Bisa dikatakan semua orang akan sepakat dengan tujuan yang indah dan mulia ini. Memperjuangkan kesejahteraan umat merupakan satu tekad yang mulia. Namun…ada yang perlu dijadikan bahan diskusi, benarkah bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi bagi permasalahan umat. Sehingga hampir semua masalah umat hanya diberi satu jawaban “SEMUA INI BISA SELESAI HANYA DENGAN KHILAFAH”..?? (lih. Judul Bulettin Al Islam ketika memberikan jawaban atas kasus Gaza dua bulan yang lalu).
Jalan Menuju Kejayaan Umat Hanya Satu
Banyak jalan menuju mekkah. Demikian anggapan sebagian orang. Karena prinsip ini, sebagian orang acuh terhadap berbagai fenomena perselisihan yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Selama niatnya baik dan ada tekad untuk memperjuangkan islam, apapun caranya, semuanya tak jadi masalah. Mari sejenak kita renungkan. Kita meyakini bahwasanya Allah tidaklah menurunkan syariat ini baik yang penting maupun yang paling penting kecuali semuanya merupakan solusi terbaik bagi umat manusia untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka semua yang Dia ajarkan, baik melalui Al Qur’an maupun contoh perbuatan NabiNya merupakan jalan utama untuk menggapai kejayaan umat.
Dengan kata lain, siapapun yang mengharapkan kejayaan umat namun dia memilih jalan yang tidak diajarkan oleh Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bisa dipastikan harapannya tidak akan tercapai.
Disebutkan dalam hadis Ibn Mas’ud ketika menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membuat satu garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan Allah”. Setelah itu, beliau membuat beberapa garis cabang di sebelah kanan dan kiri garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Ini ada banyak jalan, pada masing-masing jalan ada setan yang mengajak untuk menuju jalan tersebut.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah di surat Al An’am 153, yang artinya: “Inilah jalanku yang lurus, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti banyak jalan cabang, karena kalian akan berpecah dari jalanya.” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Berdasarkan riwayat ini bisa kita tegaskan jalan yang benar menuju kejayaan HANYA SATU.
Antara Al Qur’an, Hadis dan Sejarah
Seringkali orang yang berprinsip khilafah sebagai prioritas utama ketika menjelaskan pentingnya khilafah mereka menunjukkan bukti-bukti sejarah. Terutama sejarah khilafah Utsmaniyah yang runtuh pada abad ke-18 M. Berikut beberapa klaim mereka tentang sejarah kemenangan khilafah:
“Daulah Utsmaniyah, sebagai Negara Khilafah Islamiyah, pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya, tanpa satu pesaing pun untuk kedudukannya hingga pertengahan abad ke-18 M.” (Mafahim Siayasiyah li…hal.34)
“Daulah Utsmaniyah telah membangkitkan kengerian di semua orang Kristen Eropa dan terwujud suatu kebiasaan umum di kalangan Kristen bahwa pasukan Islam itu tidak terkalahkan,” (Mafahim Siayasiyah li…hal.45)
“Ringkasnya, kondisi berbagai negara di dunia yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut: Dunia pada masa lampau didominasi oleh Daulah Utsmaniyah, Prusia, Rusia, Austria, Inggris, dan Perancis. Negara-negara inilah yang dahulu mengendalikan berbagai urusan dunia, mengancam perdamaian, dan memutuskan perang.” (Mafahim Siayasiyah li…hal. 71)
Meskipun kutipan di atas diakui belum mewakili keseluruhan, namun penulis menyimpulkan, setelah membaca buku Mafahim Siayasiyah li.. bahwa terkesan mereka lebih menonjolkan bukti-bukti sejarah untuk mendukung prinsip mereka. Jika begitu hebatnya sejarah untuk dijadikan bukti mutlak prioritas khilafah, di manakah porsi Al Qur’an dan As Sunnah?
Bukankah prinsip dakwah adalah bagian yang sangat vital dalam islam?
Lalu mungkinkah penjelasan Al Qur’an dan Hadis tentang ini kurang mencukupi, sehingga kita harus beralih pada klaim sejarah?
Jangan sampai kita bersikap apriori dan menutup mata terhadp kajian Al Qur’an dan Hadis dalam menentukan jawaban. Kita memiliki koridor baku yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Hadis. Semata klaim sejarah belum cukup. Sebagaimana penjelasan ahli sejarah bahwasanya sejarah belum tentu sesuai fakta. Sejarah bukanlah realita. Klaim sejarah bisa dimanipulasi berdasarkan sudut pandang masing-masing pengamat. Karenanya, kesimpulan sejarah banyak dilatar belakangi dengan berbagai kepentingan. Kita tidak menutup mata atas kebaikan daulah Utsmaniyah yang telah menaklukkan beberapa negeri kafir.
Bagi pengamat yang dilatar belakangi obsesi khilafah mengatakan bahwa daulah Utsmaniyah merupakan khilafah islamiyah yang terakhir runtuh. Namun bagi pengamat lainnya khilafah islamiyah al udzma sudah berakhir sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah. Karena sejak saat itu kekuasaan kaum muslimin sudah terpecah. (lih. Keterangan Syaikh Sholeh Suhaimi di majalah Adz Dzakhiroh edisi 42, 1419 H). Di sisi lain, bagi pengamat orang menganggap daulah Utsmaniyah merupakan bukti sejarah kejayaan umat karena khilafah. Namun bagi pengamat sejarah yang lain berpendapat sebaliknya, daulah Utsmaniyah sama sekali tidak menghukumi kaum muslimin dengan syariat Allah, kecuali dalam kaum muslimin yang tinggal di negeri mereka sendiri, dan itupun hanya sesuai dengan madzhab hanafi.
Bahkan daulah Utsmaniyah telah menjadi pelindung bagi bid’ah dan kesyirikan.
Lebih dari itu, raja terakhir dari daulah ini, Sultan Abdul Hamid II telah menjadikan Muhammad As Shayadi –pemimpin thariqoh Ar Rifa’iyah- sebagai penasehat utama kerajaan. (lih. Ar Rad ‘Ala Hizb. Karya Abdur Rahman bin Muhammad Sa’id Ad Dimsyaqi, hal. 71 & 72).
Ringkasnya, semata klaim sejarah bukanlah bukti utama untuk menegakkan satu prinsip dakwah. Bahkan klaim sejarah bukanlah bukti untuk menunjukkan realita. Namun bukan berarti kita menolak sejarah seutuhnya. Bahkan jika itu realita, kita terima seutuhnya. Akan tetapi selayaknya kita jadikan Al Qur’an dan Hadis sebagai acuan utama untuk menegakkan prinsip dakwah.
Mari kita pegangi dua prinsip di atas baik-baik, untuk memberikan jawaban yang tepat dan bijak terhadap permasalahan khilafah. Kita tetapkan jalan menuju kejayaan umat islam hanya satu, yaitu jalan yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, jika meneriakkan prioritas khilafah adalah SESUAI DENGAN KORIDOR Al Qur’an dan Hadis maka mari kita sepakati bahwa Khilafah adalah JALAN SATU yang ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai jalan keselamatan. Sebaliknya, jika memprioritaskan khilafah bukanlah jalan menuju kejayaan umat sebagimana yang DIGARISKAN Al Qur’an dan hadis maka berarti jalur ini termasuk diantara jalan menyimpang yang didiami setan.
Tinjauan Al Qur’an, Hadis dan Realita Sejarah
Penjelasan masalah ini bisa kita temukan dengan gamblang dalam Al Qur’an, Hadis, dan sejarah. Jika diantara kita ada yang merasa sulit untuk diajak menjawab masalah ini dengan Al Qur’an dan Al Hadis berdasarkan metode pemahaman ulama masa silam, mungkin bisa mempelajari REALITA SEJARAH kaum muslimin. Mudah-mudahan itu bisa memberikan jawaban yang menenangkan. Mengingat keterbatasan tempat, berikut hanya akan diberikan jawaban ringkas dan sederhana. Kami berharap semoga Allah menjadikannya bermanfaat.
Pertama, tinjauan dalil Al Qur’an
Tujuan utama Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul, dan Menurunkan kitab-kitabNya
Allah berfirman, yang artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Allah berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwa tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah Aku!” (QS. Al Anbiya’: 25).
Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).
Ibadah yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dinamakan ibadah kepada Allah kecuali dengan meninggalkan pembatal-pembatal ibadah. Diantaranya adalah kesyirikan. Artinya, Ketika beribadah manusia dituntut untuk mentauhidkan Allah. Sebagaimana shalat tidak bisa disebut shalat keculai jika bersih dari pembatal shalat. Oleh karena itu, makna kata ibadah dalam ayat ini adalah adalah tauhid. Karena hakekat ibadah adalah menatuhidkan Allah dalam setiap menjalakan perintah dan larangan.
Khilafah adalah hadiah dari Allah bagi setiap orang yang bertauhid
Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi (baca: mewujudkan khilafah) sebagaimana Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang sebelum kalian. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Dia ridhoi untuk mereka (Islam), dan Dia sungguh akan mengganti keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman. Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apappun.” (QS. An Nur: 55).
Dalam tafsir Al Jalain dijelaskan bahwa Allah telah mewujudkan janjiNya kepada kaum muslimin (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) dan Allah memuji mereka dengan firmanNya di akhir ayat di atas: “Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apapun.” Maka ayat ini berstatus sebagai alasan kenapa Allah memberikan kekuasaan kepada mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).
Oleh karena itu, secara urutan manusia dituntut untuk menegakkan tauhid terlebih dahulu barulah kemudian Allah memberikan hadiah kepada kaum muslimin dengan diwujudkannya kekuasaan (khilafah) bagi mereka. Bukan sebaliknya, khilafah dulu baru semua penyimpangan diselesaikan. Karena sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir di atas bahwa tauhid merupakan syarat mutlak suatu kaum itu mendapatkan khilafah. Dan demikianlah realita yang terjadi pada dakwahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah belasan tahun beliau mengajak umat kepada tauhid barulah Allah memberikan kekuasaan kepada beliau dan para sahabat tepatnya setelah mereka hijrah ke madinah.
Kedua, tinjauan dari dalil hadits
Oleh karena itu, dalam sejarah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercatat bahwa beliau hanya mengajak umat untuk tunduk dan taat kepada Allah terutama tauhid. Tidak pernah sedikitpun mengajak umat untuk mendirikan daulah islam. Bahkan sebaliknya, beliau menolak semua tawaran orang-orang musyrikin Quraisy untuk menjadi raja Mekkah. Karena tujuan utama beliau bukanlah mencari kekuasaan namun mengajak manusia untuk memurnikan tauhid kepada Allah. Dan demikianlah keadaan dakwah para rasul ‘alaihim as sholatu was salam mereka tidaklah hadir di masyarakatnya untuk memusnahkan daulah yang berkuasa di sana kemudian membangun daulah yang baru. Mereka tidak menuntut untuk dijadikan raja maupun penguasa. Namun mereka datang dengan membawa hidayah bagi umat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kemusyrikan.
Bahkan beliau sendiri pernah ditawari oleh Rabnya (Allah ta’ala) dan diberi pilihan antara menjadi seorang rasul sekaligus raja ataukah menjadi seorang rasul yang statusnya hanya hamba biasa. Kemudian beliau memilih untuk menjadi rasul yang statusnya hanya hamba biasa. (sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Al Bukhari & Muslim). Andaikan obsesi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menegakkan khilafah di muka bumi ini maka tentu beliau akan memenuhi tawaran orang kafir Quraisy atau bahkan tawaran Allah ta’ala untuk menjadi penguasa jazirah arab baru kemudian mendakwahkan tauhid. Ini menunjukkan bahwa sedikitpun beliau tidak berobsesi untuk menegakkan kekuasaan, namun obsesi beliau hanya satu, yaitu mengajak umat untuk berislam dengan mentauhidkan Allah sepenuhnya.
Ketiga, bukti sejarah bahwa kekuasaan bukanlah jaminan kemenangan
Sekali lagi, kita tidak menolak sejarah. Jika itu realita maka kita terima sepenuhnya. Berikut kami sisipkan beberapa realita sejarah bahwa kekuasaan tidaklah menjamin diterimanya dakwah.
Pertama, kisah raja Romawi yang sezaman dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja Heraklius. Disebutkan dalam shahih Al Bukhari hadis ke-7 di Bab “Bad’ul wahyi” bahwa setelah raja Heraklius menerima surat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia paham betul bahwa beliau adalah Nabi akhir zaman setelah berdialog dengan salah satu orang Quraisy (Abu Sufyan) yang berdagang ke Syam dan membandingkannya dengan apa yang ada di injil. Kemudian Heraklius memerintahkan para pembesar-pembesar Romawi untuk berkumpul di Daskarah (istana yang dikelilingi benteng) yang berada di kota Hims.
Setelah semuanya masuk, dia perintahkan untuk menutup semua pintu istana. Kemudian Raja Nasrani ini berpidato: “Wahai masyarakat Romawi, siapa yang ingin mendapatkan kejayaan, kebenaran, dan kerajaan yang kokoh maka hendaknya dia membai’at Nabi ini.” Tiba-tiba para hadirin bubar berlarian seperti keledai liar menuju pintu-pintu istana. Namun ternyata semuanya tertutup. Setelah Heraklius melihat mereka pada berlarian dan dia putus untuk bisa mengajak mereka beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja ini meminta agar mereka berkumpul kembali. Kemudian dia berpidato: “Apa yang aku katakan barusan sesungguhnya hanyalah untuk menguji komitmen kalian terhadap agama kalian (nasrani).” Kemudian para hadirin bersujud pada Heraklius dan mau menerima keputusannya.Dan inilah akhir keadaan Heraklius.
Kedua, kisah raja Najasyi sang penguasa negeri Habasyah. Disebutkan dalam buku-buku siroh nabawiyah bahwa setelah Raja Najasyi mendengar keterangan tentang dakwah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar bacaan surat Maryam yang disampaikan oleh Ja’far (salah satu sahabat yang berhijrah ke Habasyah), beliau menangis dan masuk Islam. Hanya saja Raja yang adil ini menyembunyikan Islamnya di hadapan para uskup-uskupnya. Oleh karena itu, Allah ta’ala tidak memerintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Para ahli sejarah menjelaskan analisis hal tersebut disebabkan:
a) Posisi rijaluddin (tokoh agama) nasrani yang cukup kuat dalam pemerintahan. Keadaan ini selanjutnya membuat mereka mampu menghalangi dakwah islam di tengah masyarakat Habasyah
b) Raja Najasyi, meskipun beliau itu raja yang adil dan telah masuk islam, namun beliau tidak mampu menunjukkan secara terang-terangan kepada rakyatnya bahwa beliau telah meninggalkan nasrani. Ini menunjukkan kelemahan hukumnya. Sehingga setinggi apapun posisinya tidak mampu mengubah Habasyah menjadi daulah islamiyah. (lih. Siroh Nabawiyahjilid I, Mediu)
Demikianlah pelajaran berharga dari keadaan dua raja tersebut. Kekuasaannya tidak mampu menampakkan aqidahnya. Berbeda dengan Fir’aun. Sebab utama dia mampu menguasai kaumnya disebutkan oleh Allah dalam firmannya, yang artinya: “dia menakut-nakuti kaumnya, sehingga mereka mentaati Fir’aun..” (QS. Zukhruf: 54). Disebutkan dalam tafsir Jalalain bahwasanya Fir’aun menginginkan agar rakyatnya mendustakan Musa dengan menakut-nakuti mereka. Kemudian mereka-pun taat kepada Fir’aun. Mari kita bandingkan antara dua kasus di atas. Raja Najasyi dan Kaisar Romawi tidak mampu memaksakan aqidahnya karena sebelumnya dia tidak menyiapkan keadaan hati rakyatnya untuk menerima islam. Berbeda dengan Fir’aun, dia berhasil menguasai rakyatnya dan memaksa mereka untuk mewujudkan keinginannya setelah sebelumnya dia menyiapkan keadaan hati rakyatnya agar meyakini bahwa tujuan Musa adalah mengusir kalian dari Mesir.
Bisakah kita bayangkan, ketika Allah mewujudkan khilafah bagi kaum muslimin, sementara kebanyakan mereka tidak paham syariat islam. Mungkinkah mereka akan menerima aturan syariat yang ditetapkan oleh khilafah? Mungkin bisa kita pastikan; yang ada hanyalah kudeta. Bisa jadi ketika khalifah ingin menghilangkan kesyirikan, kemaksiatan, dan kebid’ahan, namun justru para pemuja kesyirikan, bid’ah dan maksiat akan melawan. Dengan kekuatan apa khilafah akan memaksa, sementara kelompok mereka (pemuja syirik, bid’ah dan maksiat) jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang memahami syariat. Atau… mungkin dengan alternatif yang kedua. Sistem Khilafah membiarkan sepenuhnya setiap kegiatan keagamaan rakyatnya meskipun itu sarat dengan syirik, khurafat, dan bid’ah. Karena yang penting rakyat bisa tenang, sehingga bersama-sama rakyat bisa menggulingkan kekuasaan hegemoni orang yahudi & nasrani. Membiarkan rakyatnya bergelimang dengan kesyirikan selama hukum hudud (seperti potong tangan, qisos, cambuk, dst.) ditegakkan? Demikiankah sistem khilafah yang diinginkan? Dengan tegas kita katakan: “Sistem ini bukan sistem khilafah islam!!!” ini sistem khilafah syirkiyah bukan islamiyah. Belum lagi ketika khilafah ini berdiri, sementara banyak masyarakat masih ambisi untuk meraih jabatan… apa yang terjadi? Tidak lain adalah perebutan kekuasaan.. dari mana kaum muslimin bisa bersatu.
Lalu mana yang lebih penting… berdakwah mengajak umat untuk membenahi agama mereka dengan menyempurnakan tauhid mereka masing-masing, ataukah… mengajak semua elemen untuk menegakkan khilafah tanpa peduli bagaimana aqidah mereka? Jika tujuannya untuk memahamkan rakyat dengan syariat maka harusnya yang pertama kali dilakukan adalah mendahulukan mengajarkan syariat islam sebelum mengajarkan fiqih politik. Kita mengkhawatirkan, jangan-jangan obsesi menggalang umat untuk mewujudkan khilafah ini hanyalah akan menjadi angan-angan belaka yang tidak mungkin terwujudkan selama kita membiarkan umat islam masih bergelimang dengan syirik, bid’ah dan maksiat. Mari kita renungkan perkataan para ulama:
“Siapa yang menginginkan sesuatu sebelum waktunya maka dia dihukum dengan tidak mendapatkannya”
Bahaya Sikap Lebih Mengutamakan Penegakan Khilafah Di Atas Lainnya
Ada beberapa konsekwensi negatif ketika seseorang itu berlebih-lebihan terhadap khilafah. Diantaranya:
  1. Menganggap semua oknum yang tidak memiliki andil dalam penegakan khilafah sebagai orang sesat. Jika dia mati maka mati dalam keadaan membawa aqidah jahiliyah. Atau dengan bahasa yang lebih kasar, mati kafir. Diantara dalil yang digunakan untuk menguatkan anggapan ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Barangsiapa yang berpisah dari jama’ah (mereka maknai dengan khilafah) maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyah.” (HR. Al Bukhari). Karenanya siapa saja yang tidak mau gabung dengan khilafah, atau tidak ikut andil dalam menegakkan khilafah (karena khilafah belum berdiri) maka dia mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang benar, hadis ini sama sekali tidak menunjukkan makna di atas. Karena yang dimaksud keluar dari jamaah adalah memberontak kepala negara kaum muslimin yang sah. Sedangkan yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan bermaksiat bukan mati kafir. (lih. Fathul Bari 20/58).
  2. Meremehkan dosa besar atau bahkan kekafiran. Setelah Khumaini berhasil memberangus rezim Reza Pahlevi, datanglah beberapa utusan dari kelompok yang gemar memprioritaskan khilafah untuk menemui Khumaini dan menawarkan penegakan khilafah kepadanya. (lih. Majalah Al Khilafah At Tahririyah, edisi 18 bulan Agustus 1989). Disamping itu, kelompok ini juga sempat memuji tulisan Al Khumaini yang berjudul Al Hukumah Al Islamiyah, dimana pada tulisan ini ditegaskan Khumaini bahwa Imam (Khalafah) itu lebih utama dibandingkan malaikat atau para nabi. (lih. Majalah Al Wa’i At Tahririyah edisi 26, tahun ke-3 Dzul Qo’dah 1409). Padahal para ulama telah menyatakan kafirnya orang yang beranggapan: “para imam lebih utama dibandingkan para nabi.” (lih. Pernyataan Syaikhul Islam dan beberapa ulama lainnya sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hajar Al Haitami dalam Al I’lam bi Qowathi’il Islam).
    Ditambah lagi keadaan orang-orang syi’ah yang mencela para sahabat, menghina para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengkultuskan ahli bait, menyimpangkan Al Qur’an dan beberapa penyelewengan syi’ah yang keterlaluan lainnya, bagi kelompok khilafah itu bukan masalah besar. Itu masalah kecil dalam pandangan mereka jika dibandingkan dengan masalah penegakan khilafah. Bukankah ini berarti merelakan untuk mengorbankan aqidah yang benar demi tegak dan kembalinya khilafah.
  3. Menganggap ajaran agama terbagi dua; bagian inti dan kulit. Kenyataan lain ketika terlalu ambisi terhadap khilafah. Mereka menggolongkan ke dalam dua golongan. Bagian inti dan kulit. Setiap masalah penting bagi mereka digolongkan sebagai inti agama, sementara masalah yang kurang penting bagi mereka digolongkan bagian kulit, meskipun hakikatnya itu dosa besar. Akibatnya, ketika diingatkan bahaya bid’ah, atau ancaman untuk orang-orang yang celananya menyelisihi syariat, atau masalah wanita terjun ke jalan, mereka menganggap itu masalah kurang penting. Karena lebih penting menjaga perasaan masyarakat agar mau menerima dakwah mereka ketimbang mengingatkan mereka yang justru membuat mereka lari.
  4. Munculnya obsesi kekuasaan sehingga tega untuk mencela ulama. Setelah mereka terkesima dengan sejarah khilafah daulah Utsmaniyah, mereka merasa terpukul berat dengan runtuhnya daulah ini. Sehingga tidak heran, ada sebagian di antara mereka yang memperingati tanggal mulai runtuhnya daulah Utsmaniyah dalam rangka mengenang sejarah berakhirnya khilafah bagi mereka. Sayangnya, kesedihan ini membuahkan satu sikap yang kurang tepat. Setelah meruntut sekian penyebab runtuhnya daulah Utsmaniyah mereka berkesimpulan bahwa salah sebab runtuhnya daulah ini adalah dakwah tauhid yang digencarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang bekerja sama dengan inggris. Abdul Qodim Zalum mengatakan: “Sesungguhnya tentara inggris telah membantu mereka (dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) dengan senjata dan harta untuk membangun asaa madzhab, mereka menginginkan untuk menguasai Karbala dan kuburan Al Hasan. Dan ketika kota Madinah sudah jatuh ke tangan mereka, merera hendak merobohkan kubah besar yang menaungi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam… dan masalah ini telah banyak diketahui, bahwa penyebab semua ini adalah Wahabiyah, anteknya inggris.” (lih. Kaifa Hudimat Al Khilafah hal. 10-12 karya Abdul Qodim Zalum, cet. 1962).
Perkataan Salah Satu Tokoh Pergerakan
Berikut perkataan salah satu tokoh da’i pergerakan, yang kebanyakan pengikutnya mendambakan tegaknya khilafah. Dalam kesempatan kajian di Darul Hadis di Mekkah, beliau juga pernah ditanya:
Isi pertanyaan: Sebagian mengatakan bahwa islam akan kembali jaya dengan hakimiyah (khilafah), sebagian yang lain mengatakan islam akan kembali jaya melalui jalur pelurusan aqidah dan tarbiyah jamaah. Manakah yang benar?
Beliau menjawab: “Dari manakah datangnya kekuasaan (khilafah) agama ini di muka bumi jika tidak ada da’i-da’i yang mengajak untuk meluruskan aqidah dan beriman dengan iman yang benar. Kemudian mereka diuji dalam beragama dan mereka bersabar, mereka juga berjihad di jalan Allah. Kemudian hukum agama Allah akan ditegakkan di bumi. Satu permasalahan yang sangat jelas sekali. Hakim (Khalifah) tidaklah datang dari langit, tidak pula turun dari langit. Segala sesuatu datang dari langit namun dengan usaha keras manusia. Allah tetapkan hal ini untuk manusia. Allah berfirman yang artinya: “Andaikan Allah menghendaki Allah akan menolong kalian dari (kejahatan) mereka (orang kafir). Namun Allah menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain..” (QS. Muhammad: 4). Maka wajib kita awali dengan meluruskan aqidah dan mendidik generasi dengan aqidah yang benar. Generasi yang akan diuji kemudian mereka mampu bersabar atas ujian, sebagaimana bersabarnya generasi yang pertama.” (Dikutip dari kitab: Minhaj Al Firqoh An Najiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
Terakhir kami akhiri tulisan ini dengan kutipan pidato salah satu da’i pergerakan internasional. Perkataan ini kami letakkan di akhir tulisan ini dengan harapan bisa menjadi kesimpulan bagi pembahasan di atas. Kami hanya bisa mengharapkan, andaikan pengikut beliau menuruti apa yang beliau sampaikan.
“Tegakkanlah daulah islam di hati kalian masing-masing, niscaya daulah ini akan tegak di bumi kalian”

APAKAH WAJIB HUKUMNYA BERCADAR BAGI WANITA MUSLIM ????

Memperlihatkan Muka Dan Tangan Menurut Pendapat Jumhur Ulama
Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang sebenarnya sudah tidak perlu penegasan, kerana di kalangan ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah masyhur dan tidak asing lagi, iaitu bahawa pendapat tentang tidak wajibnya memakai cadar serta bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi wanita muslimah di depan laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah pendapat jumhur fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..
Kerana itu tidak perlu dipertengkarkan, sebagaimana yang ditimbulkan oleh sebahagian yang ikhlas tetapi tidak berilmu dan oleh sebahagian pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat terhadap pendapat yang dikemukakan seorang da’i kondang Syekh Muhammad al-Ghazali dalam beberapa buku dan makalahnya. Mereka beranggapan seakan-akan beliau membawa bid’ah atau pendapat baru, padahal sebenarnya apa yang beliau kemukakan itu merupakan pendapat imam-imam yang mu’tabar dan fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya jelaskan kemudian. Selain itu, apa yang beliau kemukakan merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar, disandarkan pada penalaran dan i’tibar, dan didukung pula oleh realiti dalam beberapa zaman.
Mazhab Hanafi
Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi, disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhuwatirkan timbul syahwat. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahawa beliau menambahkan dengan kaki, kerana pada yang demikian itu ada kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal wajahnya ketika bermuamalah dengan orang lain, untuk menegakkan kehidupan dan keperluannya, kerana tidak adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.
Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.” (an-Nur: 31)
Para sahabat pada umumnya berpendapat bahawa yang dimaksud ayat tersebut ialah celak dan cincin, iaitu tempatnya (bahagian tubuh yang ditempati celak dan cincin). Hal ini sebagaimana telah saya jelaskan bahawa celak, cincin, dan macam-macam perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat mahupun orang lain. Maka yang dimaksud disini ialah ‘tempat perhiasan itu,’ dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan mudhaf ilaih pada tempatnya.
Beliau berkata, adapun kaki, maka diriwayatkan bahawa ia bukanlah aurat secara mutlak, kerana bahagian ini diperlukan untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan timbulnya syahwat kerana melihat muka dan tangan itu lebih besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.
Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah aurat untuk dipandang, bukan untuk shalat.”[1]
Mazhab Maliki
Dalam syarah shaghir (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:
“Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat.”
Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya, katanya, “Maksudnya, boleh melihatnya, baik bahagian luar mahupun bahagian dalam (tangan itu), tanpa maksud berlazat-lazat dan merasakannya, dan jika tidak demikian maka hukumnya haram.”
Beliau berkata, “Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah dan kedua tangannya?” Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang mengatakan bahawa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.
Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya hanya si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari ‘Iyadh.
Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara wanita yang cantik dan yang tidak, yang cantik wajib menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.”[2]
Mazhab Syafi’i
Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi’iyah, pengarang kitab al-Muhadzdzab mengatakan:
“Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan – Imam Nawawi berkata: hingga pergelangan tangan – berdasarkan firman Allah ‘Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Wajahnya dan kedua telapak tangannya.”[3]
Disamping itu, kerana Nabi saw. ‘melarang wanita yang sedang ihram mengenakan kaos tangan dan cadar’.[4] Seandainya wajah dan telapak tangan itu aurat, niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya. Selain itu, juga kerana dorongan keperluan untuk menampakkan wajah pada waktu jual beli, serta perlu menampakkan tangan untuk mengambil dan memberikan sesuatu, kerana itu (wajah dan tangan) ini tidak dianggap aurat.
Imam Nawawi menambahkan dalam syarahnya terhadap al-Muhadzdzab, iaitu al-Majmu’, “Diantara ulama Syafi’iyah ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahawa telapak kaki bukanlah aurat. Al-Muzani berkata, ‘Telapak kaki itu bukan aurat.’ Dan pendapat mazhab adalah yang pertama.”[5]
Mazhab Hambali
Dalam mazhab Hambali kita dapati Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitabnya al-Mughni (1: 601) seperti berikut: Tidak diperselisihkan dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka wajahnya dalam shalat, dan dia tidak boleh membuka selain wajah dan telapak tangannya. Sedangkan mengenai telapak tangan ini ada dua riwayat.
Para ahli ilmu berbeza pendapat, tetapi kebanyakan mereka sepakat bahawa ia boleh melakukan shalat dengan wajah terbuka. Dan mereka juga sepakat bahawa wanita merdeka itu harus mengenakan tutup kepalanya jika melakukan shalat, dan jika ia melakukan shalat dalam keadaan seluruh kepalanya terbuka, maka ia wajib mengulangmya.
Imam Abu Hanifah berkata, “Kaki itu bukan aurat, kerana kedua kaki itu memang biasanya tampak. Kerana itu, ia seperti wajah.”
Imam Malik, al-Auza’i, dan Imam Syafi’i berkata, “Seluruh tubuh wanita itu adalah aurat kecuali muka dan tangannya, dan selain itu wajib ditutup pada waktu shalat, kerana dalam menafsirkan ayat ,dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya,” Ibnu Abbas berkata, ‘Iaitu wajah dan telapak tangan.”
Selain itu, kerana Nabi saw. melarang wanita berihram memakai kaus tangan dan cadar. Andaikata wajah dan tangan itu aurat niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya. Selain itu, kerana diperlukan membuka wajah dalam urusan jual beli, begitupun kedua tangan untuk mengambil (memegang) dan memberikan sesuatu.
Sebahagian sahabat kami berkata, “Wanita itu seluruhnya adalah aurat, kerana diriwayatkan dari Nabi saw. bahawa wanita itu aurat.” Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau berkata, “Hadis hasan sahih.” Tetapi beliau memberinya rukhshah (keringanan) untuk membuka wajah dan tangannya kerana jika ditutup akan menimbulkan kesulitan. Dan diperbolehkan melihatnya pada waktu meminang kerana wajah itu merupakan pusat kecantikan. Dan ini adalah pendapat Abu Bakar al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, “Wanita itu seluruhnya adalah aurat hingga kukunya.”
Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.
Mazhab-Mazhab Lain
Dalam menjelaskan berbagai pendapat ulama tentang masalah aurat, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu’:
Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Disamping Imam Syafi’i, yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Abu Hanifah, al-Auza’i, Abu Tsaur, dan segolongan ulama, serta satu riwayat dari Imam Ahmad.
Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani berkata “Kedua kakinya juga bukan aurat.”
Imam Ahmad berkata, “Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajahnya saja”[6]
Ini juga merupakan pendapat Daud sebagaimana dikemukakan dalam Nailul Authar (2: 55).
Adapun Ibnu Hazm, maka beliau mengecualikan wajah dan telapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan akan kami kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.
Ini juga merupakan pendapat jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas dalam penafsiran mereka terhadap ayat “apa yang bisa tampak daripadanya” (an-Nur: 31).
Dalil-Dalil Golongan Yang Memperbolehkan Membuka Wajah Dan Telapak Tangan
Saya akan kemukakan beberapa dalil syar’iyah terpenting yang dijadikan dasar oleh golongan yang berpendapat tidak wajib memakai cadar serta boleh membuka wajah dan telapak tangan – iaitu jumhur ulama – seperti berikut ini, dan insya Allah hal ini sudah memadai.
1. Penafsiran sahabat terhadap ayat “kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.”
Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (para tabi’in) menafsirkan firman Allah dalam surah an-Nur ayat 31 “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya” bahawa yang dimaksud adalah “wajah dan telapak tangan, atau celak dan cincin, serta perhiasan-perhiasan yang serupa dengannya.”
Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan sejumlah besar pendapat mengenai masalah ini dalam kitabnya Ad-durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur.
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas mengenai firman Allah “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya,” yang maksudnya adalah “celak dan cincin.”
Sa’id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. mengenai bunyi ayat tersebut dengan “celak, cincin, anting-anting, dan kalung.”
Abdur Razaq dan Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai “kecuali apa yang biasa tampak daripadanya,” iaitu “pemerah kuku dan cincin.”
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim meriWayatkan dari Ibnu Abbas mengenai “apa yang biasa tampak daripadanya,” iaitu “wajah, telapak tangan, dan cincin.”
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah “kecuali apa yang biasa tampak daripadanya,” iaitu “raut wajah dan telapak tangan.”
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi dalam sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahawa beliau pernah ditanya mengenai perhiasan yang biasa tampak itu, lalu beliau menJawab, “gelang dan cincin.” Beliau mengatakan demikian sambil mengatupkan hujung lengan bajunya.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman Allah “kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.” Menurut beliau yang dimaksud adalah “wajah dan lingkar leher (antara dua tulang selangka).”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair mengenai ayat tersebut dengan penafsiran “wajah dan telapak tangan.” Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari ‘Atha mengenai ayat yang sama dengan penafsiran “kedua telapak tangan dan wajah.”
Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, menasirkan ayat tersebut dengan “kedua gelang, cincin, dan celak.” Menurut Qatadah, “Telah sampai berita kepadaku bahawa Nabi saw. bersabda:
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir (untuk menampakkan tangannya) kecuali hingga ini, seraya beliau memegang separuh lengannya.”
Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij, yang mengutip perkataan Ibnu Abbas bahawa yang dimaksud bunyi ayat “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” adalah “cincin dan gelang.”
Menurut Ibnu Juraij, Aisyah pernah berkata, “Anak perempuan dari saudara laki-lakiku seibu, iaitu Abdullah bin Thufail, pernah masuk ke tempatku dengan mengenakan perhiasan. Dia masuk ke tempat Nabi saw., kemudian beliau berpaling.” Lalu Aisyah berkata “Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dan dia seorang pembantu.” Kemudian beliau bersabda:
“Apabila seorang wanita telah dewasa, ia tidak boleh menampakkan selain wajahnya dan selain yang di bawah ini.”
Seraya beliau memegang lengannya sendiri, lalu beliau biarkan antara pegangannya itu dengan telapak tangan sepanjang segenggam tangan.”[7]
Namun, dalam hal ini Ibnu Mas’ud berbeza pendapat dengan Ibnu Abbas, Aisyah, dan Anas radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Mas’ud berkata, “Apa yang biasa tampak itu ialah pakaian dan jilbab.”
Menurut pendapat saya, penafsiran Ibnu Abbas dan yang sependapat dengannya itu merupakan penafsiran yang rajih (kuat), kerana pengecualian dalam ayat “kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” itu datang setelah larangan menampakkan perhiasan, yang hal ini menunjukkan semacam rukhshah (keringanan) dan pemberian kemudahan, sedangkan tampaknya selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar lainnya sama sekali bukan rukhshah atau kemudahan, atau menghilangkan kesulitan, kerana tampak atau terlihatnya pakaian luar itu sudah otomatis. Oleh kerana itu, pendapat ini dikuatkan oleh ath-Thabari, al-Qurthubi, ar-Razi, al-Baidhawi, dan lain-lainnya, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Adapun al-Qurthubi menguatkan pendapat ini kerana sudah lumrah wajah dan tangan itu tampak baik dalam adat mahupun dalam ibadah, seperti dalam shalat dan haji. Oleh kerana itu, tepatlah apabila istitsna’ (pengecualian) itu kembali kepadanya.
Pendapat ini dimantapkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahawa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap Nabi saw. dengan mengenakan pakaian yang tipis, lalu Nabi saw. berpaling seraya berkata:
“‘Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid (sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain ini dan ini,’ dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua tangannya.”
Memang, kalau hanya hadis ini saja tidak dapat dijadikan hujjah kerana kemursalannya dan kelemahan perawinya dari Aisyah, sebagaimana yang sudah dimaklumi, tetapi ia mempunyai syahid (pendukung) dari hadis Asma binti Umais sehingga kedudukannya menjadi kuat, ditambah lagi dengan praktek kaum wanita pada zaman Nabi saw. dan para sahabatnya. Oleh kerana itu, pakar hadis al-Albani menghasankannya dalam kitab-kitabnya, seperti: Hijab al-Mar’ah al-Muslimah, al-Irwa’, Shahih al-Jam’I ash-Shaghir, dan Takhrij al-Halal wal-Haram.
2. Perintah Mengulurkan Tudung ke Dada, bukan ke Wajah Allah berfirman:
( sepotong surat an nur 31 )“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (an Nur: 31)
Lafal al-khumuru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru, iaitu tutup kepala, sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk jamak dari kata jaibu, iaitu belahan dada pada baju atau lainnya. Maka wanita-wanita mukminah diperintahkan menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat menutupi leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah.
Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan tegas oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup wajahnya, sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan mereka menutup dadanya. Kerana itu, setelah mengemukakan ayat ini Ibnu Hazm berkata, “Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka (kaum wanita) menutupkan tudungnya ke dadanya, dan ini merupakan nash untuk menutup aurat, leher, dan dada, dan ini juga merupakan nash yang memperbolehkan membuka wajah, dan tidak mungkin dapat diertikan selain itu.”[8]
3. Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan
Al-Qur’an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan pandangannya. Firman Allah:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (an-Nur: 30)
Sabda Nabi saw.:
“Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk kamu syurga, iaitu jujurlah bila kamu berbicara, tunaikanlah jika kamu diamanati, dan tahanlah pandanganmu …?”[9]
“Janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (berikutnya), kerana engkau hanya diperbolehkan melakukan pandangan pertama itu dan tidak diperbolehkan pandangan yang kedua.”[10]
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah mampu kahwin, maka kahwinlah, kerana kahwin itu lebih dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan…” (HR al-Jama’ah dari Ibnu Mas’ud)
Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita harus memakai cadar, maka apakah erti anjuran untuk menahan pandangan? Dan apakah yang dapat dilihat oleh mata jika wajah itu tidak terbuka yang memungkinkan menarik minat dan dapat menimbulkan fitnah? Dan apa ertinya bahawa kahwin itu dapat lebih menundukkan pandangan jika mata tidak pernah dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita?
4. Ayat “meskipun kecantikannya menarik hatimu”
Hal ini diperkuat lagi oleh firman Allah:
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu…” (al-Ahzab: 52)
Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita kalau tidak ada kemungkinan melihat wajah yang sudah disepakati merupakan pusat kecantikan wanita?
5. Hadis: “Apabila salah seorang di antara kamu melihat wanita lantas ia tertarik kepadanya.”
Nash-nash dan fakta-fakta menunjukkan bahawa umumnya kaum wanita pada zaman Nabi saw. jarang sekali yang memakai cadar, bahkan wajah mereka biasa terbuka.
Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Abu Daud dari Jabir bahawa Nabi saw. Pernah melihat seorang wanita lalu beliau tertarik kepadanya, kemudian beliau mendatangi Zainab – isterinya – yang waktu itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau melepaskan hasratnya, dan beliau bersabda:
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran syaitan dan pergi dalam gambaran syaitan. Maka apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas ia tertarik kepadanya, maka hendaklah ia mendatangi isterinya, kerana yang demikian itu dapat menghalangkan hasrat yang ada dalam hatinya itu.” (HR Muslim)”[11]
Hadis ini juga diriwayatkan oleh ad-Darimi dari ibnu Mas’ud, tetapi isteri Nabi saw. yang disebutkan di situ ialah “Saudah,” dan beliau bersabda:
“Sesiapa yang melihat seorang wanita yang menarik hatinya, maka hendaklah ia mendatangi isterinya, kerana apa yang dimiliki wanita itu ada pula pada isterinya.”
Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari hadis Abi Kabsyah al-Anmari bahawa Nabi saw. bersabda:
“Seorang wanita (si Fulanah) melalui saya, maka timbullah hasrat hatiku terhadap wanita itu, lalu saya datangi salah seorang isteri saya, kemudian saya campuri dia. Demikianlah hendaknya yang kamu lakukan, kerana diantara tindakanmu yang ideal ialah melakukan sesuatu yang halal.”[12]
Peristiwa yang menjadi sebab atau latar belakang timbulnya hadis ini menunjukkan bahawa Rasul yang mulia melihat seorang wanita tertentu, lantas timbul hasratnya terhadap wanita itu, sebagaimana layaknya manusia dan seorang laki-laki. Tentu saja, hal ini tidak mungkin terjadi tanpa melihat wajahnya, sehingga dapat dikenal si Fulanah atau si Anu. Dalam hal ini, pandangannya itulah yang menimbulkan hasratnya selaku manusia, sebagaimana sabda beliau: “Apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas hatinya tertarik kepadanya …” Maka menunjukkan bahawa hal ini mudah terjadi dan biasa terjadi.
6. Hadis: “Lalu beliau menaikkan pandangannya dan mengarahkannya.”
Diantaranya lagi ialah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad bahawa seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang hendak memberikan diri saya kepadamu.” Lalu Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan pandangannya dan mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu tahu bahawa Rasulullah saw. tidak berminat kepadanya, maka ia pun duduk.
Seandainya wanita itu tidak terbuka wajahnya, niscaya Nabi saw. tidak mungkin dapat melihat kepadanya, dan memandangnya agak lama, dengan menaikkan dan mengarahkan pandangannya (memandang ke atas dan ke bawah, dari atas sampai bawah).
Wanita itu berbuat demikian bukanlah untuk keperluan pinangan. Kemudian dia menutup wajahnya setelah itu, bahkan disebutkan bahawa dia lantas duduk dalam kondisi seperti pada waktu dia datang. Maka sebahagian sahabat yang hadir dan melihat wanita tersebut meminta kepada Rasulullah saw. Agar menikahkannya dengan wanita itu.
7. Hadis al-Khats’amiyah dan al-Fadhl bin Abbas
Imam Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahawa seorang wanita dari Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah saw. pada waktu haji wada’ dan al-Fadhl bin Abbas pada waktu itu membonceng Rasulullah saw. Kemudian Imam Nasa’i menyebutkan kelanjutan hadis itu, “Kemudian al-Fadhl melirik wanita itu, dan ternyata dia seorang wanita yang cantik. Rasulullah saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain.”
lbnu Hazm berkata, “Andaikata wajah itu aurat yang harus ditutup, sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui (tidak membenarkan) wanita itu membuka wajahnya di hadapan orang ramai, dan sudah pasti beliau menyuruhnya melabuhkan pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup niscaya putera Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu cantik atau jelek. Dengan demikian, secara meyakinkan benarlah apa yang kami katakan. Segala puji kepunyaan Allah dengan sebanyak-banyaknya.”
Imam Tirmidzi meriwayatkan cerita ini dari hadis Ali r.a. yang di situ disebutkan: “Dan Nabi saw. memalingkan wajah al-Fadhl. Lalu al-Abbas bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau putar leher anak pamanmu?’ beliau menjawab, ‘Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, dan aku tidak merasa aman terhadap gangguan syaitan kepada mereka.’”
Tirmidzi berkata, “Hadis (di atas) hasan sahih.”[13]
Al-Allamah asy-Syaukani berkata:
“Dari hadis ini Ibnu Qudamah mengistimbath hukum akan bolehnya melihat wanita ketika aman dari fitnah, kerana Nabi saw. Tidak menyuruhnya menutup wajah. Seandainya al-Abbas tidak memahami bahawa memandang itu boleh, niscaya ia tidak akan bertanya, dan seandainya apa yang difahami Abbas itu tidak boleh niscaya Nabi saw. tidak akan mengakuinya.”
Selanjutnya beliau berkata:
“Hadis ini dapat dijadikan dalil untuk mengkhususkan ayat hijab yang disebutkan sebelumnya, yakni (yang ertinya): “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (al-Ahzab: 53).
Ayat tersebut khusus mengenai isteri-isteri Nabi saw., sebab kisah al-Fadhl itu terjadi pada waktu haji wada’, sedangkan ayat hijab itu turun pada waktu pernikahan Zainab, pada tahun kelima hijrah,[14] (yang bererti ayat ini lebih dulu turun daripada peristiwa al-Fadhl itu; penj.).
8. Hadis-hadis Lain
Diantara hadis-hadis lain yang menunjukkan hal ini ialah yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah …. Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita, lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya bersabda: “Bersedekahlah kamu kerana kebanyakan kamu adalah umpan neraka Jahanam.” Lalu berdirilah seorang wanita yang baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu ia bertanya, “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
“Kerana kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan (dengan suami).”
Jabir berkata, “Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka, melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal.”
Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahawa pipi wanita itu hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar?
Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id dari Ibnu Abbas, bahawa dia menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw., dan beliau berkhutbah sesudah shalat, kemudian beliau datang kepada kaum wanita bersama Bilal untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta menyuruh mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, “Maka saya lihat mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan (perhiasannya) ke pakaian Bilal.”
Ibnu Hazm berkata, “Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw. melihat tangan wanita-wanita itu. Maka benarlah bahawa tangan dan wajah wanita itu bukan aurat.”[15]
Hadis itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dan lafal ini adalah lafal Abu Daud dari Jabir:
“Bahawa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu beliau melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau mengkhutbahi orang ramai. Setelah selesai kbutbah, Nabi saw. turun, lalu beliau mendatangi kaum wanita seraya mengingatkan mereka, sambil bertelekan pada tangan Bilal,’ dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum wanita melemparkan sedekah.” Jabir berkata “Seorang wanita melemparkan cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan wanita-wanita lain pun melemparkann sedekahnya.”[16]
Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Al-Fatakh ialah cincin-cincin besar yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada jari-jari mereka seandainya mereka tidak membuka tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka dapat melepas dan melemparkan cincin-cincin itu.”[17]
Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a., ia berkata, “Wanita-wanita mukminah menghadiri shalat subuh bersama Nabi saw. Sambil menyelimutkan selimut mereka. Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat, sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) kerana hari masih gelap.”
Mafhum riwayat ini menunjukkan bahawa wanita-wanita itu dapat dikenal jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat dikenal apabila wajah mereka terbuka.
Diantaranya lagi ialah riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahawa Subai’ah binti al-Harits menjadi isteri Sa’ad bin Khaulah, salah seorang yang turut serta dalam Perang Badar. Sa’ad meninggal dunia pada waktu haji wada’ ketika Subai’ah sedang hamil. Tidak lama setelah kematian Sa’ad itu dia pun melahirkan kandungannya. Maka ketika telah berhenti nifasnya, dia bersolek untuk mencari pinangan, lalu datanglah Abus Sanabil bin Ba’kuk kepadanya seraya bertanya “Mengapa aku lihat engkau bersolek, barangkali engkau ingin kahwin? Demi Allah, sesungguhnya engkau belum boleh kahwin, sehingga berlalu atasmu tenggang waktu selama empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata, “Setelah dia berkata begitu kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku pada malam harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah saw. dan aku tanyakan hal itu kepada beliau, lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahawa aku telah halal untuk kahwin lagi setelah aku melahirkan kandunganku, dan beliau menyuruhku kahwin apabila sudah ada calon yang cocok untukku.”
Hadis ini menunjukkan bahawa Subai’ah muncul dengan bersolek di hadapan Abus Sanabil, padahal Abus Sanabil itu bukan mahramnya, bahkan ia termasuk salah seorang yang melamarnya setelah itu. Seandainya wajahnya tidak terbuka, sudah tentu Abus Sanabil tidak tahu apakah dia bersolek atau tidak.
Dan diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a. bahawa seorang laki-laki dilalui oleh seorang wanita dihadapannya, lalu dia memandangnya dengan tajam, kemudian dia melalui suatu dinding lantas wajahnya terbentur dinding, lantas dia datang kepada Rasulullah saw. sedangkan mukanya berdarah, lalu dia berkata, Wahai Rasulullah, saya telah berbuat begini dan begini.” Lalu Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, maka disegerakannya hukuman dosanya di dunia, dan jika Dia menghendaki yang lain untuk orang itu, maka ditunda-Nya hukuman atas dosa-dosanya sehingga dibalasnya secara penuh pada hari kiamat seakan-akan dia itu himar.”[18]
Ini menunjukkan bahawa wanita-wanita itu menampakkan atau terbuka wajahnya, dan diantaranya ada yang wajahnya menarik pandangan laki-laki sehingga yang bersangkutan terbentur dinding kerana memandangnya dan berdarah mukanya.
9. Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar
Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahawa apabila pada suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka hal itu dianggap aneh, menarik perhatian, dan menimbulkan pertanyaan,
Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata, “Seorang wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi saw. sambil memakai cadar (penutup muka) untuk menanyakan anaknya yang terbunuh. Lalu sebahagian sahabat Nabi berkata kepadanya, ‘Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?’ Lalu dia menjawab, ‘Jika aku telah kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku …”[19]
Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka tidak perlulah si perawi mengatakan bahawa dia datang dengan “memakai cadar,” dan tidak ada ertinya pula kehairanan para sahabat dengan mengatakan, “Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?”
Bahkan dari jawapan wanita itu menunjukkan bahawa perasaan malunyalah yang mendorongnya memakai cadar, bukan kerana perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu diwajibkan oleh syara’, maka tidak mungkin ia menjawab dengan jawapan seperti itu, bahkan tidak mungkin timbul pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu, kerana seorang muslim tidak akan menanyakan, “Mengapa dia melakukan shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?” Dan telah ditetapkan dalam kaedah, “Apa yang sudah ada dasarnya tidak perlu ditanyakan ‘illat-nya.”
10. Tuntutan Muamalah Mengharuskan Mengenal/Mengetahui Peribadi yang Bersangkutan
Muamalah (pergaulan) seorang wanita dengan orang lain dalam berbagai persoalan hidup mengharuskan peribadinya dikenal oleh orang-orang yang bermuamalah dengannya, baik sebagai penjual mahupun pembeli, yang mewakilkan mahupun yang menjadi wakil, menjadi saksi, penggugat, ataupun tergugat. Kerana itu, para fuqaha telah sepakat bahawa seorang wanita harus membuka wajahnya apabila sedang beperkara di muka pengadilan, sehingga hakim boleh mengetahui personalia saksi dan orang-orang yang beperkara. Seseorang (wanita) tidak mungkin dapat diketahui atau dikenal identitinya jika sebelumnya wajahnya tidak dikenal oleh masyarakat. Maka tidak ada ertinya bagi seorang wanita membuka wajahnya di sidang pengadilan jika sebelumnya memang tidak pernah dikenal oleh masyarakat di sekitarnya.
Dalil-dalil Golongan yang Mewajibkan Cadar
Setelah kita mengetahui dalil-dalil cemerlang dari jumhur ulama, sekarang kita cuba lihat dalil-dalil golongan minoriti yang menentangnya.
Sebetulnya saya tidak menemukan – bagi golongan yang mewajibkan cadar dan menutup muka dan tangan – dalil syara’ yang shahih tsubut (jalan periwayatannya) dan sharih dilalahnya (jelas petunjuknya) yang selamat dari sanggahan, yang sekiranya dapat melapangkan dada dan menenangkan hati.
Semua dalil mereka merupakan nash-nash yang mutasyabihat (samar) yang ditolak oleh nash-nash muhkamat dan bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas dan terang.
Berikut ini saya kemukakan beberapa dalil yang mereka anggap paling kuat berikut sanggahan saya terhadapnya.
A. Penafsiran sebahagian ahli tafsir terhadap ayat “jilbab” yang termaktub dalam firman Allah berikut:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kerana itu mereka tidak diganggu …” (al-Ahzab: 59)
Diriwayatkan dari beberapa mufasir (ahli tafsir) salaf mengenai penafsiran “mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka” bahawa mereka menutupkan jilbab mereka ke seluruh wajah mereka, dan tidak ada yang tampak sedikit pun kecuali sebelah matanya untuk melihat.
Penafsiran tersebut di antaranya diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ubaidah as-Salmani. Tetapi, tidak ada kesepakatan mengenai makna “jilbab” dan “mengulurkan” dalam ayat tersebut.
Yang menghairankan justeru dijumpai penafsiran dari Ibnu Abbas yang bertentangan dengan penafsiran tersebut ketika menafsirkan firman Allah “kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (an-Nur: 31). Yang lebih menghairankan lagi ialah sebahagian ahli tafsir berbeza-beza dalam menafsirkan surah al-Ahzab, tetapi mereka memilih penafsiran yang justeru bertentangan dengan penafsiran surah an-Nur.
Di dalam Syarah Muslim dalam mensyarah hadis Ummu Athiyah tentang shalat Id (ertinya): “Salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab …” Imam Nawawi berkata: “An-Nadhr bin Syamil berkata, ‘jilbab itu ialah kain (pakaian) yang lebih pendek tetapi lebih lebar daripada tudung, iaitu tutup kepala yang dipakai wanita untuk menutup kepalanya. Ada juga yang mengatakan bahawa jilbab adalah pakaian yang luas tetapi masih dibawah selendang, yang digunakan oleh wanita untuk menutup dada dan punggungnya. Ada pula yang mengatakannya seperti selimut. Ada yang mengatakannya sarung, serta ada pula yang mengatakannya tudung.”[20]
Tetapi bagaimanapun, sesungguhnya firman Allah “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” tidak memastikan menutup wajah, baik dilihat dari segi bahasa mahupun dari segi adat kebiasaan, dan tidak ada satu pun dalil dari Al- Qur’an As-Sunnah, mahupun ijma, yang menetapkan begitu. Disamping itu pendapat sebahagian ahli tafsir bahawa ayat itu memastikan menutup muka, bertentangan dengan pendapat sebahagian yang lain yang mengatakan bahawa ayat itu tidak menetapkan menutup muka, sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang Adhwa’ui Bayan rahimahullah
Dengan demikian, pengajuan ayat tersebut sebagai dalil untuk menetapkan kewajipan menutup wajah menjadi gugur.
B. Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan firman Allah: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya,” bahawa apa yang biasa tampak dari perhiasan itu ialah selendang dan pakaian luar.
Penafsiran ini bertentangan dengan penafsiran yang sahih dari sahabat-sahabat lain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Anas, dan para tabi’in bahawa yang dimaksud ialah celak dan cincin, atau bahagian tubuh yang ditempati celak dan cincin, yakni wajah dan tangan. Ibnu Hazm mengemukakan bahawa ketetapan riwayat dari sahabat mengenai penafsiran ini sangat sahih.
Penafsiran (yang kedua) ini didukung oleh keterangan yang dikemukakan oleh Al-Allamah Ahmad bin Ahmad Asy-Syanqithi di dalam kitab Mawahibul Jalil min Adillati Khalil, beliau berkata, “Barangsiapa yang bergantung pada penafsiran Ibnu Mas’ud terhadap ayat ‘kecuali yang biasa tampak daripadanya’ bahawa yang dimaksud ialah selimut, maka dapat diberi jawapan: sebaik-baik perkara untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah Al-Qur’an, dan Al-Qur’an menafsirkan zinatul mar’ah dengan al-huliyi (perhiasan). Allah SWT berfirman:
“… Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (an-Nur: 31)[21]
Maka nyatalah bahawa erti zinatul mar’ah ialah perhiasan (gelang kaki dan sebagainya).”[22]
Ini diperkuat pula dengan apa yang saya katakan sebelumnya bahawa pengecualian dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk memberi keringanan dan kemudahan. Sedangkan terlihatnya pakaian luar seperti selimut dan sebagainya itu merupakan sesuatu yang pasti terlihat, bukan rukhshah (keringanan) juga bukan pemberian kemudahan.
C. Apa yang dikemukakan oleh pengarang Adhwa’ul Bayan tentang berdalil dengan firman Allah mengenai isteri-isteri Nabi:
“… Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dan belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka …” (al-Ahzab: 53)
Sesungguhnya penetapan ‘illat dari Allah terhadap hukum mewajibkan hijab – kerana hati laki-laki dan perempuan akan lebih suci dari keragu raguan sebagaimana tersebut dalam firman-Nya “yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” – merupakan indikasi yang jelas yang menunjukkan tujuan hukum. Kerana tidak ada seorang pun diantara kaum muslimin yang mengatakan bahawa selain isteri-isteri Nabi saw. tidak memerlukan kesucian hati (tidak perlu disucikan hatinya) dari keraguan/kecurigaan.
Namun demikian, apabila orang mahu merenungkan makna dan susunan kalimat ayat tersebut niscaya akan dia dapati bahawa “kesucian yang disebutkan sebagai ‘illat hukum bukanlah dari keraguan mereka (para isteri Nabi saw.), sebab keraguan semacam ini jauh dari mereka yang memiliki kedudukan demikian luhur. Selain itu, tidak terbayangkan jika di hati ummahatul mu’minin serta para sahabat – yang masuk ke tempat mereka – terdapat keraguan atau kecurigaan seperti itu. Tetapi kesucian itu semata-mata dari memikirkan perkahwinan yang halal yang kadang-kadang memang terlintas dalam hati salah satu pihak – sepeninggal Rasulullah saw..
Sedangkan argumen mereka dengan ayat “maka mintalah kepada mereka dari belakang tabir” tidaklah benar, kerana hal ini khusus mengenai isteri-isteri Nabi sebagaimana yang tampak dengan jelas. Demikian juga, perkataan mereka: (“Yang dipakai ialah keumuman lafal, bukan khusus yang berkaitan dengan sebabnya”) tidaklah berlaku disini, sebab lafal ayat tersebut bukan lafal umum. Begitupun halnya dengan qiyas yang mereka lakukan – yang menyamakan semua wanita dengan isteri-isteri Nabi-merupakan qiyas yang tertolak. Qiyas seperti itu termasuk qiyas ma’a al-faariq (qiyas yang berantakan, tidak memenuhi syarat), kerana mereka (isteri-isteri Nabi) terkena hukum yang berat yang tidak dikenakan kepada selain mereka. Kerana itu Allah berfirman:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain …” (al-Ahzab: 32)
D. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari Ibnu Umar bahawa Rasulullah saw. bersabda:
“Janganlah wanita yang sedang ihram memakai cadar dan jangan memakai kaos tangan.”[23]
Hadis tersebut, menurut mereka, menunjukkan bahawa cadar dan kaos tangan sudah terkenal di kalangan wanita yang tidak sedang ihram.
Saya tidak menyangkal bahawa sebahagian wanita mengenakan cadar dan kaos tangan atas kemahuan mereka sendiri, ketika tidak sedang melakukan ihram. Tetapi, mana dalil yang menunjukkan bahawa yang demikian itu wajib? Bahkan kalau peristiwa atau hadis ini dijadikan dalil untuk menunjukkan yang sebaliknya, maka itulah yang rasional, sebab larangan-larangan dalam ihram itu pada asalnya adalah mubah, seperti mengenakan pakaian yang berjahit, wangi-wangian, berburu, dan sebagainya. Tidak ada sesuatu pun yang asalnya wajib kemudian dilarang dalam ihram.
Kerana itu, ramai fuqaha – sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya – yang justeru berdalil dengan hadis ini untuk menetapkan bahawa wajah dan tangan itu bukan aurat; sebab kalau tidak demikian maka tidak mungkin beliau mewajibkan membukanya (pada waktu ihram).
E. Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Aisyah, ia berkata:
“Ada beberapa orang yang menunggang kenderaan yang melalui kami ketika kami sedang berihram bersama Rasulullah saw.. Apabila mereka berpapasan dengan kami, masing-masing kami mengulurkan jilbabnya dan kepalanya ke atas wajahnya, dan apabila mereka telah melalui kami maka kami buka jilbab itu.”
Hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah kerana beberapa hal:
1.Hadis ini dha’if, kerana di dalam isnadnya terdapat Yazid bin Abi Ziyad, sedangkan dia menjadi pembicaraan. Sedangkan hadis dha’if tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum.
2.Apa yang dilakukan Aisyah dalam hadis ini (seandainya bersanad sahih) tidak menunjukkan kepada wajib, kerana perbuatan Rasul sendiri tidak menunjukkan hukum wajib, maka bagaimana lagi dengan perbuatan orang yang selain beliau?
3.Kita mengenal kaedah dalam ushul: “bahawa suatu kejadian yang mengandungi serba kemungkinan, maka ia adalah mujmal (global) kerana itu tidak dapat dijadikan dalil.”
Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi disini ialah bahawa hal itu merupakan hukum khusus mengenai para ummul mu’minin (isteri-isteri Nabi saw.) disamping hukum-hukum khusus lainnya untuk mereka, seperti haramnya mengawini mereka sepeninggal Rasulullah saw., dan sebagainya.[24]
F. Riwayat Imam Tirmidzi secara marfu’:
“Wanita itu aurat; apabila ia keluar maka ia didekati oleh syaitan.”[25]
Sebahagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjadikan hadis ini sebagai dasar untuk menetapkan bahawa seluruh tubuh wanita adalah aurat, serta mereka tidak mengecualikan wajah, tangan, dan kaki. Sebenarnya hadis ini tidak menetapkan hukum secara menyeluruh sebagaimana yang mereka kemukakan itu, tetapi hanya menunjukkan bahawa pada dasarnya wanita itu terlindungi dan tertutup, tidak terbuka dan terhina. Dan hadis ini cukup menetapkan bahawa sebahagian besar tubuh wanita itu aurat. Andaikata hadis ini hanya diambil pengertian lahiriahnya, niscaya tidak boleh membuka sedikit pun tubuhnya dalam shalat dan haji, tetapi hal ini bertentangan dengan dalil yang sahih dan meyakinkan -tentang dibukanya wajah dan tangan dalam shalat dan haji.
Maka, bagaimana mungkin dapat digambarkan bahawa wajah dan tangan itu aurat, padahal sudah disepakati tentang dibukanya pada waktu shalat dan wajib membukanya pada waktu ihram? Apakah masuk akal bahawa syara’ memperbolehkan membuka aurat pada waktu shalat dan mewajibkan membukanya pada waktu ihram – kalau wajah dan tangan itu termasuk aurat?
G. Ada dalil lain yang dipakai golongan yang mewajibkan cadar ini apabila mereka tidak mendapatkan dalil nash yang muhkamat, iaitu mereka menggunakan saddudz dzari’ah (menutup pintu kerosakan/usaha preventif) . Inilah senjata mereka yang termasyhur apabila senjata-senjata lainnya sudah tumpul.
Saddudz dzari’ah ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu yang mubah kerana dikhuwatirkan akan terjatuh pada yang haram. Tetapi’ hal ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha, antara golongan yang melarang dan memperbolehkan (penggunan teori ini), serta antara yang memperlapang dan mempersempit. Al-Allamah Ibnul Qayyim mengemukakan sembilan alasan yang menunjukkan disyariatkannya saddudz dzari’ah ini dalam kitab beliau llam al-Muwaqqi’in.
Tetapi, yang sudah menjadi ketetapan para muhaqqiq dari kalangan ulama fiqih dan ushul ialah bahawa berlebih-lebihan dalam menutup “pintu/jalan” sama dengan berlebih-lebihan dalam membukanya. Berlebihan dalam membuka “jalan” akan mengakibatkan banyak kerosakan yang membahayakan manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Sedangkan berlebihan dalam menutup “jalan” akan menghilangkan banyak sekali kemaslahatan manusia dalam urusan kehidupan dan urusan akhirat mereka.
Apabila Asy-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) telah membuka sesuatu dengan nash dan kaedah, maka kita tidak boleh menutupnya dengan pemikiran dan kekhuwatiran-kekhuwatiran kita, lantas kita halalkan apa yang telah diharamkan Allah atau kita membuat syariat yang tidak diizinkan Allah.
Kaum muslim pada zaman dulu telah bersikap sangat ketat dengan alasan “membendung pintu fitnah” (saddudz dzari’fah ila al-fitnah), lalu mereka mengharamkan wanita pergi ke masjid. Dengan demikian, mereka telah menghalangi kaum wanita untuk mendapatkan kebaikan yang banyak, sedangkan ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid, seperti ilmu yang bermanfaat atau nasihat-nasihat yang dapat menyadarkannya. Sebagai akibatnya, ramai wanita muslimah yang hanya hidup bersenang-senang dengan tidak pernah sekali pun ruku kepada Allah. Padahal Rasulullah saw. dengan tegas mengatakan:
“Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke masjid-masjid Allah.” (HR Muslim)
Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum muslim seputar masalah kegiatan belajar kaum wanita dan kepergiannya ke sekolah atau kampus. Yang menjadi hujjah golongan yang melarangnya ialah saddudz dzari’ah. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahawa wanita yang berpendidikan lebih mampu membuat keterampilan dan berbagai kesibukan tulis-menulis atau surat-menyurat. Akhirnya, diskusi itu berkesudahan dengan keputusan bahawa kaum wanita boleh mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, baik mengenai ilmu agama mahupun ilmu dunia, dan kondisi inilah yang dominan di semua negara Islam tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan hukum Islam.
Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk menutup pintu kerosakan dan fitnah. Seperti kewajipan mengenakan pakaian menurut aturan syara’, tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), haramnya berduaan antara laki-laki dan perempuan, wajib bersikap serius dan sopan dalam berbicara, berjalan, dan beraktiviti, serta wajib menahan pandangan terhadap lawan jenis. Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak perlu lagi kita memikirkan larangan-larangan lain dari kita sendiri.
H. Diantara dalil mereka lagi: ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di kalangan kaum muslim selama beberapa abad, bahawa kaum wanita menutup wajahnya dengan selubung muka, cadar, dan sebagainya.
Sebahagian ulama berkata: “‘Urf di dalam syara’ mempunyai penilaian, kerana itu diatasnya hukum ditegakkan.”
Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari Imam al-Haramain – dalam berdalil tentang tidak bolehnya wanita memandang laki-laki – bahawa kaum muslim telah sepakat melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka.
Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan beberapa alasan seperti berikut:
1.Bahawa ‘urf ini bertentangan dengan ‘urf yang berlaku pada zaman Nabi, zaman sahabat, dan pada zaman generasi terbaik, iaitu generasi yang mengikuti jejak langkah para sahabat (yakni tabi’in).
2.Bahawa ‘urf itu bukan ‘urf umum, bahkan ‘urf itu berlaku di suatu negara tetapi tidak berlaku di desa-desa dan kampung-kampung, sebagaimana yang sudah dimaklumi.
3.Bahawa perbuatan Nabi al-Ma’shum saw. tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan pensyariatan sebagaimana ditetapkan dalam ushul, maka bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain?
Kerana itu, ‘urf atau kebiasaan ini – meskipun kita terima sebagai ‘urf umum sekalipun – tidak lebih hanya menunjukkan bahawa mereka menganggap bagus memakai cadar itu, sebagai sikap kehati-hatian mereka, dan tidak menunjukkan bahawa mereka mewajibkan cadar sebagai ketentuan agama.
4.’Urf ini bertentangan dengan ‘urf atau kebiasaan yang terjadi sekarang, sesuai dengan tuntutan keperluan dan perkembangan zaman, tuntutan keperluan hidup, tata kehidupan masyarakat, dan perubahan kondisi kaum wanita dari kebodohan kepada keilmuan (berpengetahuan), dari kebekuan kepada pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam rumah menuju ke aktiviti dalam berbagai lapangan yang bermacam-macam.
Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf atau kebiasaan di suatu tempat dan pada suatu waktu, ia akan berubah sesuai dengan perubahannya.
Syubhat Terakhir
Akhirnya saya kemukakan juga di sini suatu syubhat yang ditimbulkan oleh sebahagian orang yang peduli terhadap agama yang ingin mempersempit ruang kebebasan wanita,yang ringkasnya seperti berikut:
“‘Kami menerima argumen yang Anda kemukakan tentang disyariatkan (diperbolehkan)-nya wanita membuka wajahnya, sebagaimana kami juga menerima bahawa kaum wanita pada periode pertama – masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin – tidak memakai cadar melainkan pada keadaan tertentu saja yang sedikit jumlahnya.
Tetapi kita harus mengerti bahawa zaman itu merupakan zaman yang ideal, akhlaknya bersih, rohaniahnya tinggi, wanita aman membuka wajahnya tanpa ada seorang pun yang mengganggunya. Berbeza dengan zaman kita dimana kerosakan sudah bermaharajalela, dekadensi moral terjadi dimana-mana, fitnah menimpa manusia dimana-mana, maka tidak ada yang lebih utama bagi wanita daripada menutup wajahnya, sehingga tidak menjadi mangsa serigala-serigala lapar yang senantiasa mengintainya di setiap penjuru.”
Terhadap syubhat ini dapat saya kemukakan jawapan sebagai berikut:
PERTAMA: bahawa meskipun periode awal merupakan periode yang ideal, yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak dan ketinggian rohaninya, tetapi mereka masih termasuk periode manusia juga, yang di dalamnya ada kelemahan, hawa nafsu, dan kesalahan. Kerana itu di antara mereka ada orang yang berbuat zina, ada yang dijatuhi hukuman had, ada yang melakukan tindakan-tindakan yang masih dibawah zina, ada orang-orang yang durhaka, dan ada pula orang-orang gila dan sinting yang suka mengganggu kaum wanita dengan melakukan ulah-ulah yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surah al-Ahzab) yang menyuruh wanita-wanita beriman mengulurkan jilbab ke tubuh mereka agar mereka dapat dikenal sebagai wanita-wanita merdeka yang sopan dan menjaga diri hingga tidak diganggu:
“… Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kerana itu mereka tidak diganggu …” (Al-Ahzab: 59)
Selain itu, telah turun pula beberapa ayat dalam surah al-Ahzab yang mengancam kaum durhaka dan “sinting” itu jika mereka tidak mahu meninggalkan perbuatan mereka yang hina itu. Allah berfirman:
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan khabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dialam keadaan terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.” (al-Ahzab: 60-61)
KEDUA: bahawa dalil-dalil syariah – apabila telah sah dan jelas-bersifat umum dan abadi. Ia bukan dalil untuk satu atau dua periode saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan dalil lagi. Sebab, jika demikian, maka syariat itu hanya bersifat temporal, tidak abadi, dan hal ini bertentangan dengan predikatnya sebagai syariat terakhir.
KETIGA: kalau kita buka pintu ini, maka kita mungkin saja menasakh (menghapus) syariat dengan fikiran kita, orang-orang yang ketat dapat saja menasakh hukum-hukum yang mudah dan ringan dengan alasan wara’ dan hati-hati, dan orang-orang yang longgar dapat menasakh hukum-hukum yang telah baku dengan alasan perkembangan zaman dan sebagainya.
Yang benar, bahawa syariat adalah yang menghukumi bukan yang dihukumi, yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita wajib tunduk kepada hukum syariat, bukan hukum syariat yang tunduk kepada peraturan kita:
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya …” (al-Mu’minun: 71)
Beberapa Pernyataan Yang Menguatkan Pendapat Jumhur
Saya percaya bahawa persoalan ini telah begitu jelas setelah saya kemukakan argumen kedua belah pihak, dan semakin jelas bagi kita bahawa pendapat jumhurlah yang lebih rajih (kuat) dalilnya, lebih mantap pendapatnya, dan lebih lempang jalannya.
Namun demikian, perlu kiranya saya tambahkan disini beberapa pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur, dan dapat melegakan hati setiap muslimah yang taat dan mengikuti pendapat ini tanpa merasa kesulitan, insya Allah.
PERTAMA: Tidak Ada Penugasan dan Pengharaman Kecuali dengan Nash yang Sahih dan Sharih
Bahawa pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggungan dan taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan nash yang pasti. Kerana itu, masalah mewajibkan dan mengharamkan dalam ad-Din itu merupakan suatu urusan yang serius, bukan urusan sembarangan, sehingga kita tidak mewajibkan kepada manusia apa yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau kita mengharamkan kepada mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, atau kita membuat syariat atau peraturan dalam ad-Din yang tidak diizinkan oleh Allah.
Kerana itu, para imam salaf dahulu sangat berhati-hati dalam mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu yang sudah diketahui pengharamannya secara pasti sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab saya al-Halal wal-Haram fil-Islam.
Disamping itu, pada asalnya segala sesuatu dan segala tindakan yang merupakan adat kebiasaan adalah mubah. Maka apabila tidak didapati nash yang shahih tsubut (periwayatannya) dan sharih (jelas) petunjuknya yang menunjukkan keharamannya, tetaplah hal itu pada asal kebolehannya. Dan orang yang memperbolehkannya tidak dituntut dalil, kerana apa yang ada menurut hukum asal tidak perlu ditanyakan ‘illat-nya, justeru yang dituntut agar mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.”[26]
Sedangkan mengenai masalah membuka wajah dan tangan tidak saya jumpai nash yang sahih dan sharih yang menunjukkan keharamannya. Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya sudah diharamkan-Nya dengan nash yang jelas dan qath’i yang tidak meragukan, kerana Dia telah berfirman:
“… sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (al-An’am: 119)
Sedangkan dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak kita dapati masalah haramnya membuka wajah dan telapak tangan. Maka tidak perlulah kita mempersukar apa yang telah dimudahkan Allah, sehingga kita tidak tergolong ke dalam kaum yang disinyalir oleh Allah kerana mengharamkan makanan yang halal:
“… Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?’.” (Yunus: 59)
KEDUA: Perubahan Fatwa kerana Perubahan Zaman
Diantara ketetapan yang tidak diperselisihkan lagi ialah bahawa fatwa itu boleh berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, adat kebiasaan, serta situasi dan kondisi.
Saya percaya bahawa zaman kita yang telah memberikan sesuatu kepada kaum wanita ini telah menjadikan kita menerima pendapat-pendapat yang mudah, yang menguatkan posisi dan keperibadian kaum wanita.
Sungguh, musuh-musuh Islam baik dari kalangan misionaris, Marxis, orientalis, atau lainnya, telah mengekspos kondisi buruk kaum di beberapa negara Islam, dan menyandarkannya kepada Islam itu sendiri. Mereka juga berusaha menjelek-jelekkan hukum-hukum syariat Islam beserta ajarannya mengenai wanita, dan digambarkannya dengan gambaran yang tidak cocok dengan hakikat yang dibawa oleh Islam.
Kerana itu saya melihat bahawa keunggulan pendapat dari sebahagian orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat yang menyadarkan kaum wanita dan peranan serta kaum wanita serta kemampuannya menunaikan hak-hak fitrahnya dan hak-hak syar’iyahnya, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari’ati Islamiyyah.
KETIGA: Bencana Umum
Saya persilakan wanita muslimah yang sedang sibuk menjalankan dakwah agar tidak memakai cadar, supaya tidak terjadi pemisahan antara mereka dengan wanita-wanita muslimah lainnya, kerana kemaslahatan dakwah disini lebih penting daripada melaksanakan pendapat yang dipandangnya lebih hati-hati.
Diantara hal yang tidak diperdebatkan lagi ialah bahawa terjadinya “bencana umum” (meratanya bencana) di kalangan masyarakat ialah disebabkan oleh sikap meringankan dan mempermudah urusan sebagai yang sudah diketahui oleh orang-orang yang sibuk menggeluti ilmu fiqih dan ushul fiqih, dan untuk ini terdapat banyak fakta dan data.
Dan bencana telah bermaharajalela pada hari ini dengan keluarnya kaum wanita ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, tempat-tempat kerja, rumah-rumah sakit, pasar-pasar, dan sebagainya. Mereka sudah tidak betah lagi tinggal di rumah sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Semua ini menuntut mereka untuk membuka wajah dan tangannya agar memudahkan gerak dan pergaulan mereka dengan kehidupan dan makhluk hidup, dalam mengambil dan memberi, menjual dan membeli, memahami dan memberikan pemahaman.
Alangkah baiknya kalau semua persoalan itu hanya berhenti pada yang mubah atau yang diperselisihkan saja seperti mengenai membuka wajah dan telapak tangan. Tetapi persoalannya sudah melaju kepada yang sudah jelas-jelas haram, seperti membuka bahu dan betis, kepala, leher, dan kuduk, dan wanita-wanita muslimah juga ada yang melakukan bid’ah-bid’ah Barat (mode-mode) itu. Disisi lain, kita jumpai pula wanita-wanita muslimah yang berpakaian tetapi telanjang, yang bergaya dan berlenggak-lenggok dengan dandanan dan mode rambut sedemikian rupa, persis seperti yang disinyalir dalam hadis sahih dengan sinyalemen yang sangat jitu dan tepat.
Bagaimana kita akan bersikap ketat dalam masalah ini, sedangkan kebebasan dan kebinalan ini sudah terjadi di depan mata kita?
Sesungguhnya peperangan ini tidak hanya seputar “wajah dan telapak tangan”: apakah boleh dibuka ataukah tidak? Tetapi peperangan yang sebenarnya ialah dengan mereka yang hendak menjadikan wanita muslimah sebagai potret wanita Barat, dan hendak melepaskan identitinya dan melucuti ghirah islamiyahnya, lantas mereka keluar rumah dengan berpakaian tetapi telanjang, dengan berlenggak-lenggok miring ke kanan dan ke kiri.
Kerana itu tidak boleh bagi saudara-saudara kita dan puteri-puteri kita yang “bercadar” serta ikhwan dan putera-putera kita yang “menyerukan cadar” membidikkan panahnya kepada saudara-saudara mereka yang “berhijab” (dengan tidak bercadar) dan ikhwan mereka “yang menyerukan hijab,” yang merasa mantap dengan pendapat jumhur umat. Tetapi hendaklah mereka membidikkan panahnya kepada orang-orang yang menyerukan budaya buka-bukaan, telanjang, dan melepaskan adab Islam.
Sesungguhnya wanita muslimah yang mengenakan hijab syar’I itu sendiri sering berperang (berjuang) menghadapi lingkungannya, keluarganya, dan masyarakatnya sehingga mereka dapat melaksanakan perintah Allah untuk mengenakan hijab, maka bagaimanakah kita akan mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya Anda melakukan dosa dan maksiat, kerana Anda tidak memakai cadar”?
KEEMPAT: Masyaqqah (Kesulitan) Mendatangkan Kemudahan
Sesungguhnya mewajibkan wanita muslimah – lebih-lebih pada zaman kita sekarang ini – untuk menutup wajah dan tangannya bererti memberikan kesulitan dan kesukaran serta kemelaratan kepada mereka. Padahal Allah Ta’ala telah meniadakan kesulitan, kesukaran, dan kemelaratan dalam melaksanakan agama-Nya, bahkan ditegakkan-Nya agama-Nya itu diatas dasar kelapangan, kemudahan, keringanan, dan rahmat kasih sayang. Allah berfirrnan:
“… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan …” (al-Hajj: 78)
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (al-Baqarah: 185)
“…Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (an-Nisa’: 28)
Rasulullah saw. bersabda: “Aku diutus dengan membawa agama yang lembut dan lapang (toleran). ,’ (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya)
Maksudnya, lurus dalam aqidahnya dan lapang dalam hukum-hukumnya.
Sedangkan para fuqaha telah menetapkan dalam kaedahnya: “Kesukaran itu menarik kemudahan.”
Nabi saw. telah menyuruh kita untuk memberikan kemudahan dan jangan memberikan kesukaran, memberikan kegembiraan dan jangan menjadikan orang lari. Kita ditampilkan untuk memberi kemudahan bukan untuk memberi kesulitan.
Beberapa Peringatan:
Ada beberapa peringatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk kita perhatikan:
1. Bahawa membuka wajah disini tidak dimaksudkan agar si wanita memolesnya dengan bermacam-macam bedak dan parfum yang berwarna-warni. Begitupun membuka tangan disini tidak dimaksudkan agar mereka memanjangkan kukunya dan mengecatnya dengan apa yang mereka namakan manukir. Tetapi hendaklah dia keluar dengan sopan, tidak bersolek dan ber-make-up warna-warni, dan tidak tabarruj (menampakkan aurat, berpakaian mini, atau berpakaian yang tipis, atau yang membentuk lekuk tubuh). Semua yang diperbolehkan disini adalah perhiasan yang ringan-ringan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya, iaitu celak di mata dan cincin di jari.
2. Pendapat yang mengatakan tidak wajib bercadar tidak bererti mereka berpendapat bahawa memakai cadar itu tidak boleh. Maka barangsiapa diantara kaum wanita yang ingin memakai cadar, tidak ada larangan, bahkan hal yang demikian terkadang disukai – menurut pandangan sebahagian orang yang cenderung bersikap hati-hati, apabila wanita itu cantik yang dikhuwatirkan dapat menimbulkan fitnah, lebih-lebih jika memakai cadar itu tidak menyulitkannya dan tidak menimbulkan pergunjingan orang ramai. Bahkan ramai ulama yang mengatakannya wajib jika kondisinya demikian (boleh menimbulkan fitnah). Tetapi saya tidak menemukan dalil yang mewajibkan menutup wajah ketika dikhuwatirkan menimbulkan fitnah. Sebab ini merupakan masalah yang tidak ada ukurannya, dan kecantikan itu sendiri sifatnya relatif, ada wanita yang oleh sebahagian orang dianggap sangat cantik, tetapi oleh sebahagian yang lain dianggap biasa-biasa saja, dan oleh yang lain lagi dianggap tidak cantik.
Beberapa penulis bahkan mengemukakan, hendaklah wanita menutup wajahnya apabila ada laki-laki ingin berlazat-lazat memandangnya atau mengkhayalkannya. Namun masalahnya, dari mana wanita tersebut mengetahui bahawa ada laki-laki ingin berlazat-lazat dengannya atau mengkhayalkannya (sehingga ia wajib menutup mukanya)?
Oleh kerana itu, yang lebih utama daripada menutup muka ialah hendaknya wanita tersebut menjauhi lapangan yang boleh menimbulkan fitnah, jika ia menaruh perhatian terhadap masalah itu.
3. Bahawa tidak ada kaitan antara membuka wajah dengan kebolehan melihatnya. Maka diantara ulama ada yang memperbolehkan membuka wajah tetapi tidak memperbolehkan melihatnya, kecuali pada pandangan pertama yang selintas. Ada pula yang memperbolehkan melihat apa yang diperbolehkan melihatnya itu, apabila tidak disertai dengan syahwat; jika disertai dengan syahwat atau dimaksudkan untuk membangkitkan syahwat, maka haram melihatnya, dan pendapat inilah yang saya pilih.
Allah-lah yang memberi pertolongan dan petunjuk ke jalan yang lurus.
______________________________________
Nota kaki:
1. Al-Ikhtiyar li-Ta’lilil Mukhtar, karya Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-Maushili al-Hanafi, 4: 156.
2. Hasyiyah ash-Shawi ‘alaa asy-Syarh ash-Shaghir, dengan ta’liq, Dr. Mushthafa Kamal Washfi, terbitan Darul Mawarif, Mesir, 1: 289.
3. Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu’: “Tafsir yang disebutkan dari Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Abbas dan dari Aisyah juga.”
4. Hadis ini tersebut dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu Umar r.a. bahawa Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah wanita yang berihram memakai cadar dan jangan memakai kaos tangan.”
5. al-Majmu’, 3: 167-168
6. Al-Majmu’, karya Imam Nawawi. 3: 169
7. Periksa ad-Durul Mantsur oleh as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 31 surah an-Nur.
8. Al-Muhalla, 3: 279.
9. Hadis Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi dalam asy-Syu’ab dari Ubadah, dan dihasankan dalam Shahih al-Jami’ush-Shaghir, (1018).
10. HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim dari Buraidah, dan dihasankan dalam Shahih al-Jami’ush-Shaghir (7953)
11. Dalam “Kitab an-Nikah”‘ hadis nombor 1403
12. Disebutkan oleh al-Albani dalam Salasilah Ahadits ash-Shahihah, nombor 235.
13. Sunan Tirmidzi, “Bab al-Haj,” nombor 885
14. Nailul Athar, 6: 126.
15. Al-Muhalla, 3: 280
16. Hadis nombor 1141 dan Sunan Abi Daud, dan Imam Nasa’I juga meriwayatkan hadis ini.
17. Al-Muhalla 11: 221 masalah nombor 1881.
18. Dikemukakan oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid, 10: 192 dan beliau berkata: “Diriwayatkan oleh Thabrani dan isnadnya bagus.”


Jangan Sampai Dilupakan Allah Karena Maksiatmu

Di antara akibat maksiat adalah membuat Allah itu melupakan dan meninggalkan hamba, lalu Allah akan membiarkannya menjadi ‘konconya’ (teman dekatnya) setan. Ini sungguh suatu kesengsaraan dan bukan suatu keselamatan yang diharap.Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18) وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (19)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 18-19).

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan pada hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa dan melarang dari punya kemiripan dengan orang yang melupakan Allah dengan meninggalkan sifat takwa. Akibatnya apa bagi orang yang enggan bertakwa? Yaitu Allah akan melupakannya. Allah akan melupakan kemaslahatan dirinya. Juga Allah akan melupakan dirinya sehingga ia tidak selamat dari siksa. Di samping itu pula, Allah tidak akan membuat ia selamat di akhirat kelak yang merupakan kehidupan abadi seorang muslim. Ia pun tidak bisa meraih kelezatan, kesenangan dan kenikmatan kehidupan negeri akhirat nanti. Itulah akibat dari seseorang yang lupa akan keagungan Allah dan tidak punya rasa takut pada Allah. Itu pun balasan dari enggan taat pada Sang Kholiq karena hari-harinya diisi terus dengan perbuatan dosa.

Ini menunjukkan bahwa ahli maksiat akan sulit meraih kemaslahatan untuk dirinya sendiri. Allah akan menutupi hatinya dari mengingat-Nya di mana Allah yang memberikan keterangan jiwa. Ahli maksiat semacam ini hanya mengikuti hawa nafsunya dan ia termasuk orang yang melampaui batas. Ia akan luput dari maslahat dunia dan akhiratnya. Ia pun akan sulit meraih kebahagiaan di negeri yang kita akan kekal abadi di dalamnya.

Hakekatnya hamba itu yang berbuat zholim, mencelakai dirinya sendiri dengan maksiat yang ia perbuat. Perbuatan maksiatnya sama sekali tidak mencelakakan Allah.

Demikian penjelasan dari Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ad Daa’ wad Dawaa’ yang penulis sarikan.