Di antara sebab murkanya
ALLAH kepada bangsa Yahudi, adalah karena mereka mendustakan nabi-nabi
yang diutus. Padahal tidaklah ALLAH memilih utusan-utusan-Nya,
kecuali dari orang-orang terbaik di kalangan dan pada zamannya. Tentu
saja, karena ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengutus
mereka dalam rangka mengajak manusia beribadah hanya kepada ALLAH dan
meninggalkan kesyirikan. Mereka dipilih untuk . diterima, dicintai,
diutamakan, serta diteladani. Mereka diutus untuk didengar, dipercaya
dibenarkan, kemudian dita’ati dan diikuti.
Adapun Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam,
sebagai rasul akhir zaman dan penutup para nabi, tentu saja memiliki
keistimewaan tersendiri. Beliau diutus untuk segenap manusia yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
tidak mengutus lagi seseorang setelah dia, baik nabi, apalagi rasul.
Yang tak ada alasan bagi orang Yahudi maupun Nashara untuk bertahan di
dalam agama mereka, yang tidak ada balasan bagi mereka yang menolak
ajakan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam kecuali dijebloskan ke dalam neraka.
عن أبي هريرة، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ أنه قال:
“والذي نفسي محمد بيده! لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني،
“والذي نفسي محمد بيده! لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني،
ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به، إلا كان من أصحاب النار”.
“Demi
Yang jiwa Muhammad di tangannya! Tidak seorang pun yang mendengar
tentangku -apakah itu Yahudi atau Nasrani- kemudian dia mati dalam
keadaan belum beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia
menjadi penduduk neraka.” (HR:Muslim)
Dan
semua kebaikan dari seluruh utusan-ALLAH itu terkumpul pada satu
pribadi yang diutus sebagai penyempurna akhlaq manusia -sejak ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
sendiri menyatakan telah disempurnakannya agama ini, dilengkapkannya
ni’mat-Nya-, dan diridhoi-Nya Islam sebagai agama. Beliau Shallallahu laihi wa sallam adalah pribadi terbaik dari keturunan yang terbaik, sebagaimana yang ia sampaikan:
أن واثلة بن الأسقع يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:
“إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل. واصطفى قريشا من كنانة.
واصطفى من قريش بني هاشم. واصطفاني من بني هاشم” (رواه مسلم)
“Sesungguhnya
dari keturunan Isma’il ALLAH telah memilih Kinaanah, dan dari Kinaanah
Ia memilih Quraisy, dan dari Quraisy Ia memilih Bani Hasyim, dan
dari Bani Hasyim Ia memilih aku.” (HR: Muslim dari Wa’ilah bin Al Asqa’)
Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan di dalam tafsirnya, tentang hubungan antara kesempurnaan agama ini dengan diutusnya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, sebagai berikut:
هذه أكبر نعم اللّه تعالى على هذه الأمة حيث أكمل تعالى لهم دينهم، فلا يحتاجون إلى دين غيره،
ولا إلى نبي غير نبيهم صلوات الله وسلامه عليه، ولهذا جعله الله تعالى خاتم الأنبياء،
وبعثه إلى الإنس والجن،
فلا حلال إلا ما أحله ولا حرام إلا ما حرمه، ولا دين إلا ما شرعه.
“Inilah
ni’mat-ALLAH yang terbesar atas umat ini, yakni ketika IA
menyempurnakan agama mereka. Sehingga mereka tak lagi membutuhkan
agama-agama lain, juga tak lagi membutuhkan nabi selain dari nabi-nabi
mereka sendiri. Dan karenanya ALLAH jadikan dia sebagai penutup para
nabi, yang diutus bagi segenap jin dan manusia. Maka tak ada yang halal
selain yang telah dia halalkan, dan tak ada yang haram selain yang
dia haramkan. Dan tak ada agama selain apa yang telah dia tetapkan….”
Beliau
adalah sesempurna-sempurnanya akhlaq manusia yang diutus antara lain
untuk memperbaiki serta menyempurnakan akhlaq manusia, sebagaimana yang
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tegaskan;(Artinya: “Sesungguhnya engkau memiliki akhlaq yang agung.”) (Al Qalam:4)
kemudian Beliau Shallallahu alaihi wa sallam nyatakan sendiri:
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
بعثت لأتمم صالح الأخلاق
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia.”
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam diutus untuk mengajari manusia tentang kejujuran, karenanya mustahil kalau dirinya sendiri pendusta. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam diutus untuk mengajari manusia tentang amanah, karenanya mustahil kalau dirinya sendiri khianat. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam diutus untuk mengajari manusia tentang Al Haq, karenanya mustahil kalau dirinya sendiri menempuh cara-cara yang bathil.
Untuk misi yang sangat mulia inilah karenanya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak membiarkan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berbicara kecuali di bawah bimbingan wahyu.
(Artinya: “.Tidaklah dia (_Muhammad-) berucap mengikuti hawa-nafsu. Tidak lain yang diucapkan adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya…”)(An-Njam: 3 – 4)
Bahkan lebih dari itu, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam pun diperintahkan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa untuk mengajari para pengikutnya, agar meneladani cara-cara beliau berda’wah.
(Artinya: “Katakanlah (-wahai Muhammad-) :Inilah jalanku. Aku menyeru kepada ALLAH di atas bashirah. Aku dan mereka yang mengikutiku…”) (Yusuf:108)
Sehingga ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa pun memberikan jaminan akan keteladanan Beliau, dari sisi atau sudut manapun dan sebagai apapun dia.
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
(الأحزاب:21)
(Artinya: Sungguh
pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi mereka yang
mengharapkan perjumpaan dengan ALLAH dan hari Akhir, serta banyak
mengingat ALLAH.) (Al Ahzab:21)
Setelah begitu sempurnanya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa persiapkan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam,
dipilih dari keluarga terhormat di kalangan dan pada zamannya, dikenal
sebagai Al Amin bahkan sebelum dilantik menjadi nabi, dihiasai dengan
akhlaq mulia yang diakui bahkan oleh musuh-musuhnya, dibimbing di dalam
bicara dan berda’wah. namun masih begitu banyak yang mendustakannya
dan hidayah tak mereka peroleh. Maka bagaimana pula jadinya jika
melalui seseorang yang bukan dipersiapkan oleh ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa,
bukan utusan-NYA, tak dikenal sebagai Al Amin, belum terbukti
akhlaqnya, serta tidak dibimbingan ALLAH di dalam bicara dan berda’wah?
Sungguh benar ucapan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
ستأتي على الناس سنون خداعة يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق
ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة
قيل: وما الرويبضة
قال: السفيه يتكلم في أمر العامة.(مسند أحمد)
“Akan
datang pada manusia masa yang penuh tipu daya. Para pendusta dianggap
jujur, sebaliknya orang jujur dicap pendusta. Orang yang khianat
dianggap amanah, dan orang yang amanah dicap penghianat. Dan para Ruwaibidhah mulai angkat bicara.” Ada yang bertanya:”Apa itu Ruwaibidhah?” Beliau menjawab,”Orang dungu yang sok berbicara tentang umat.”
Inilah saatnya zaman tersebut ! Zaman yang lebih buruk dari pada zaman ketika Beliau Shallallahu alaihi wa sallam diutus. Orang-orang jahiliyah di masa itu hanya mendustakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Mereka hanya mendustakan kebenaran, tetapi tidak pernah membenarkan
kedustaan. Bahkan kedustaan dianggap sebagai akhlaq orang-orang
rendahan. Mereka tidak pernah menjadikan kedustaan sebagai wasilah untuk
menggapai maksud. Mereka tidak pernah menghalalkan cara-cara hina
guna mencapai tujuan . Perhatikanlah bagaimana ucapan Abu Sufyan ketika
ditanya oleh Raja Najasi, Hiraklius, perihal Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
فوالله لولا الحياء من أن يأثروا علي كذبا لكذبت عنه.
“…Demi ALLAH. Kalaulah tidak takut malu akan disebut pendusta, sungguh aku sudah berdusta tentangnya…” (HR: Al Bukhari)
Mereka hanya menuduh dan mencap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
sebagai orang gila yang dengan sihirnya memecah belah bangsa Arab,
tidak lebih dari itu. Tetapi mereka tidak pernah menganggap atau mencap
orang-orang khianat sebagai amanah. Ketika itu, da’wah yang haq -dan
yang disampaikan dengan cara yang haq- didustakan. Tetapi da’wah yang
bathil -dan yang disampaikan dengan cara yang bathil- tak pernah ada
dan tak pernah mereka benarkan.
Adapun
zaman sekarang, da’wah yang haq didustakan -dengan berbagai alasan-.
sedangkan da’wah yang bathil dibenarkan dan dianggap benar -juga dengan
berbagai alasan-. Khabar yang shahih diragu-ragukan, sedangkan cerita
khayali dianggap suatu kebenaran. Da’wah yang haq ditinggalkan,
sedangkan kedustaan dijadikan wasilah da’wah.
Cerpen,
dongeng, sandiwara, dan yang semisal dengannya tidak lebih dari
bentuk-bentuk kedustaan atau kebohongan yang dikemas dengan keindahan
bahasa, alur cerita, dan cara pengungkapan. Tetapi hakekatnya tetap
dusta. Sedangkan agama yang haq dan mulia ini sama sekali tidak
membutuhkan bantuan atau topangan berbentuk kedustaan. Sungguh agama
ini terlalu suci dan terlalu mulia untuk mengharapkan bantuan dan
pertolongan dari kebathilan.
(Artinya: “Maka tak ada setelah AL Haq, selain kesesatan.”) (Yunus: 32)
Jika
melalui pribadi yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa saja da’wah
belum tentu menyebabkan seseorang mendapat hidayah. Maka apa yang
diharapkan melalui da’wah yang dibangun di atas kedustaan ?
Lantas, apa artinya ucapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam -yang senantiasa mengawali khutbah-khutbahnya- bagi kita semua:
إن اصدق الحديث كتاب الله وخيرا الهدي هدي النبي…..
“Sesungguhnya, sebenar-benar pembicaraan adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk An-Nabi….”
Lantas,
apa sebabnya kita bisa membenarkan kedustaan? Menganggap dongeng
khayali sebagai wasilah da’wah sama saja dengan membenarkan kedustaan,
sekaligus mendustakan kebenaran. Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memperingatkan kita akan hal ini? Akankah peringatan itu kita dustakan pula?
Ya, inilah saatnya zaman tersebut ! Di mana kebenaran didustakan dan kedustaan dibenarkan.!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar