Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah. Dia-lah yang telah memberikan ampunan kepada setiap pelaku dosa. Dan Allah pula yang telah melipat-gandakan pahala bagi para pelaku kebajikan. Dia melimpahkan berbagai kebaikan dan kenikmatan kepada segenap makhlukNya.
Ketahuilah, pemberian terbaik yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba adalah keimanan dan ketakwaan. Kekayaan dan kecukupan hidup, hendaknya tidak menjadi kendala seseorang untuk bertakwa. Dia juga harus yakin, bahwa iman dan takwa merupakan nikmat dan karunia Allah semata. Oleh karena itu, pemberian yang sedikit, jika disyukuri dan dirasa cukup, itu lebih baik daripada banyak tetapi masih menganggapnya selalu kekurangan. Sehingga tidaklah berfaidah limpahan nikmat dan banyaknya harta bagi orang-orang yang tidak bersyukur kepada Allah.
Ingatlah,
kekayaan tidak disebabkan harta yang melimpah. Namun kekayaan yang
sebenarnya adalah kekayaan yang terdapat pada jiwa. Yaitu jiwa yang
selalu qana’ah dan menerima dengan lapang dada setiap pemberian Allah
kepadanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh
beruntung orang yang telah berserah diri, diberi kecukupan rizki dan
diberi sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya”. [HR
Muslim]
Dengan sifat qana’ah ini, seorang muslim harus bisa
menjaga dalam mencari rizki atau mata pencaharian. Ketika bermu’amalah
dalam mencari penghidupan, jangan sampai melakukan tindak kezhaliman
dengan memakan harta orang lain dengan cara haram. Inilah kaidah
mendasar yang harus kita jadikan barometer dalam bermu’amalah. Allah
berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu…” [an Nisaa/4 : 29].
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ
وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui”. [al Baqarah/2 : 188].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan :
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darahnya, harga dirinya, dan hartanya.” [HR Muslim]
Lihatlah
contoh pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallm. Ketika
menjual seorang budak kepada al ‘Adda`, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menuliskan : “Ini adalah yang telah dibeli al ‘Adda` bin Khalid
bin Haudhah dari Muhammad Rasulullah. Dia telah membeli seorang budak
tanpa cacat yang tersembunyi. Tidak ada tipu daya maupun rekayasa,”
kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Inilah jual beli muslim dengan muslim yang lainnya”.Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh etika jual beli sesama muslim, dengan mengadakan akad secara tertulis, dan tidak ada unsur dusta.
Namun para pemburu dunia yang tamak, telah menempuh jalan menyimpang dalam mencari harta. Mereka lakukan dengan cara batil, melakukan tipu daya, memanipulasi, dan mengelabuhi orang-orang yang lemah. Bahkan ada yang berkedok sebagai penolong kaum miskin, tetapi ternyata melakukan pemerasan, memakan harta orang-orang yang terhimpit kesusahan, seolah tak memiliki rasa iba dan belas kasih. Berbagai kedok ini, mereka namakan dengan pinjaman lunak, gadai, lelang, atau yang lainnya. Kenyataannya, bantuan dan pinjaman tersebut tidak meringankan beban, apalagi mengentaskan penderitaan, tetapi justru lebih menjerumuskan ke dalam jurang penderitaan, kesusahan dan kemiskinan. Benarlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Sungguh
akan datang kepada manusia suatu masa, yaitu seseorang tidak lagi
peduli dari mana dia mendapatkan harta, dari jalan halal ataukah (yang)
haram”. [HR Bukhari]
Kita menyaksikan pada masa ini, betapa
menjamurnya usaha-usaha yang diharamkan agama, seperti bandar
perjudian, praktek perdukunan, para wanita tuna susila, hasil
perdagangan dari barang-barang yang diharamkan semisal khamr, rokok dan
narkoba, hasil pencurian dan perampokan, tidak jujur dalam perdagangan
dengan penipuan dan mengurangi timbangan, memakan riba, memakan harta
anak yatim, korupsi, kolusi. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengingatkan kita :
فَوَالهِt
مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ
عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Demi
Allah, bukanlah kefaqiran yang aku takutkan menimpa kalian. Akan
tetapi, yang aku takutkan adalah terbukanya dunia bagi kalian,
sebagaimana telah terbuka bagi umat-umat sebelum kalian. Sehingga
kalian akan berlomba-lomba, sebagaimana mereka telah berlomba-lomba.
Demikian itu akan menghancurkan kalian, sebagaimana juga telah
menghancurkan umat sebelum kalian”. [Muttafaqun 'alaih].
Ketahuilah,
seseorang yang memakan harta haram, hidupnya tidak akan tenang dan
bahagia. Doa yang dia panjatkan akan tertolak. Rasulullah telah
menyebutkan sebuah kisah. Yaitu seorang laki-laki yang telah menempuh
perjalanan jauh, sampai keadaannya menjadi kusut dan berdebu, kemudian
dia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa “ya Rabbi, ya
Rabbi,” akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram, dikenyangkan dari yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya
bisa dikabulkan?! [HR Muslim].Oleh karena itu, ingatlah terhadap hisab, pembalasan dan siksa di akhirat. Para pelaku kezhaliman akan mengalami kebangkrutan di akhirat. Meskipun ia membawa pahala begitu banyak yang dikumpulkan ketika di dunia, namun pahala-pahala yang telah berhasil ia himpun sewaktu di dunia, akan dialihkan kepada orang-orang yang pernah dia zhalimi. Jika pahalanya telah habis sementara kezhaliman yang ia lakukan belum bisa tertutupi, maka dosa orang-orang yang dia zhalimi dialihkan kepada dirinya, sehingga dia terbebani dengan dosa orang-orang yang ia zhalimi tersebut, sehingga ia pun bangkrut tanpa pahala. Dan akhirnya dilemparkan ke dalam api neraka. Wal ‘iyyadzu billah.
Lihatlah sekarang ini, begitu banyak orang-orang yang pintar namun licik dengan memakan harta orang lain. Bahkan ada di antaranya yang mempermasalahkan dan membawanya ke hadapan hakim. Ditempuhlah berbagai cara, supaya bisa mendapatkan harta yang bukan menjadi haknya. Padahal, barangsiapa mengambil bagian hak milik orang lain, maka hakikatnya dia telah mengambil bagian dari bara api neraka.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ
اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ
لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ
كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ
أَرَاكٍ
“Barangsiapa
merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan
dia masuk neraka dan mengharamkan baginya surga,” maka salah seorang
bertanya,”Meskipun sedikit, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Ya,
meskipun hanya setangkai kayu sugi (siwak).”[HR Muslim]
Kepada
para majikan, ingatlah! Janganlah Anda menyunat upah para pegawai, atau
malah enggan membayarnya. Takutlah kepada Allah. Ketahuilah, para
pegawai yang telah bekerja tersebut, mereka telah mengorbankan pikiran,
waktu dan tenaga untuk Anda. Para pekerja itu juga memiliki tanggungan
anak dan isteri yang harus dinafkahi. Sungguh, celakalah orang-orang
yang berbuat zhalim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengingatkan.
أَعْطُوا اْلأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berilah upah kepada para pegawai sebelum kering keringatnya”. [HR Ibnu Majah].
Bahwa
usaha yang haram tidak akan menghasilkan, kecuali kebinasaan. Suap
demi suap makanan yang didapat dari jalan haram, akan menurunkan harga
diri kita di masyarakat. Sebaliknya, usaha yang baik dan halal,
walaupun sedikit, akan menjadi pahala dan tabungan yang selalu bertambah
tidak terputus di akhirat dan berbarakah.Dalam kehidupan, terkadang kita tidak bisa dipisahkan dengan apa yang disebut dengan hutang, disebabkan adanya keperluan tertentu. Meski demikian, sebaiknya kita menjauhi dan menghindari hutang, kecuali keadaan telah memaksanya, karena adanya hajat mendesak, yang tak mungkin kecuali harus dengan menempuh hutang. Karena seorang yang berhutang, ia akan selalu dalam keadaan tertawan, sampai dia melunasi hutangnya.
Dikisahkan, ada seseorang yang bertanya di hadapan Rasulullah :
يَا
رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَتُكَفَّرُ
عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ رَسُولُ الهِa صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَم قَالَ لِي ذَلِكَ
“Wahai,
Rasulullah. Bagaimana menurut engkau bila aku terbunuh fi sabilillah,
apakah dosa-dosaku terhapuskan?” Maka Rasulullah menjawab: “Tentu, bila
engkau bersabar dan hanya mengharapkan pahala, terus melangkah maju
dan tidak surut mundur, kecuali jika engkau mempunyai hutang.
Sesungguhnya Jibril telah mengatakan yang demikian itu kepadaku”. [HR
Muslim]
Melihat betapa besarnya pengaruh dan akibat yang akan
ditanggung oleh orang yang berhutang, maka semestinya kita memiliki
kepedulian. Karena, barangsiapa bisa membantu orang yang sedang dalam
kesusahan, ikut meringankan beban yang ditanggungnya, memberikan tempo
atau bahkan membebaskan orang yang terlilit hutang, maka Allah akan
menaungi dirinya pada hari Kiamat. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ الهُk فِي ظِلِّهِ
“Barangsiapa
yang memperhatikan orang yang dilanda kesusahan, atau bahkan ikut
menghilangkan kesusahannya, maka Allah akan menaungi dirinya pada hari
Kiamat” [HR Muslim].
Akhirnya, marilah dalam mencari rizki,
tetaplah dari jalan yang halal, yang diridhai Allah, sehingga kita akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kita hindari
sejauh-jauhnya jalan-jalan yang diharamkan. Dan tidak ada kebenaran,
kecuali datang dari Allah dan RasulNya. Wallahu a’lam.***
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016
Diadaptasi oleh Abu Ziyad dari Khutbah Jum’at di masjid Nabawi dengan tema : Al Makasibul Khabitsah oleh Syaikh Shalah al Budair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar